Kaidah Tempat Kembalinya Dhomir
Dalam bahasa Arab dhomir (kata ganti) banyak digunakan dalam percakapan dan tulisan mereka. Fungsi dari dhomir itu sendiri adalah dapat meringkas kata-kata, yang jika tidak diganti dengan menggunakan dhomir niscaya kalimatnya menjadi panjang.
Misalnya Firman Allah Ta’ala:
اِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمٰتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ وَالْقٰنِتِيْنَ وَالْقٰنِتٰتِ وَالصّٰدِقِيْنَ وَالصّٰدِقٰتِ وَالصّٰبِرِيْنَ وَالصّٰبِرٰتِ وَالْخٰشِعِيْنَ وَالْخٰشِعٰتِ وَالْمُتَصَدِّقِيْنَ وَ الْمُتَصَدِّقٰتِ وَالصَّآئِمِيْنَ وَالصّٰٓئِمٰتِ وَالْحٰفِظِيْنَ فُرُوْجَهُمْ وَالْحٰـفِظٰتِ وَالذّٰكِرِيْنَ اللّٰهَ كَثِيْرًا وَّ الذّٰكِرٰتِ ۙ اَعَدَّ اللّٰهُ لَهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا
“Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab 33: Ayat 35)
Perhatikan pada kata اَعَدَّ اللّٰهُ لَهُمْ مَّغْفِرَةً yang artinya “Allah telah menyediakan tempat untuk mereka“. Bayangkan apabila tidak menggunakan dhomir (kata ganti) hum (mereka), niscaya akan disebut ulang mulai dari laki-laki muslim sampai laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah.. akan sangat panjang. Oleh karena itu digunakan lah dhomir untuk meringkas.
Para ulama sangat konsen dengan masalah tempat kembalinya dhomir, karena penetapan kembalinya yang tepat dapat meningkatkan tingkat keakuratan makna yang sebenarnya. Bahkan para ulama tafsir memasukkan permasalah dhomir ini sebagai satu pembahasan khusus didalam kitab-kitab Ushul tafsir mereka. Misalnya Imam az-zarkasy rahimahumullah menulis kitab tentangnya yang berjudul “al-Burhaan fii ‘Uluum Al-Qur’an”, kemudian beliau menukilkan bahwa ulama klasik, seperti Imam Ibnu al-Anbariy rahimahumullah telah menulis sebuah kitab khusus penjelasan dhomir-dhomir yang terdapat dalam Al Qur’an dalam dua jilid, yang artinya pelajaran tentang tempat kembalinya dhomir sudah menjadi perhatian para pendahulu kita.
Al-Imam az-zarkasy rahimahumullah Dan para ulama lainnya menyebutkan sebuah kaedah umum yang hendaknya dijadikan pegangan bahwa :
ﺍﻟْﺄَﺻْﻞُ ﻋَﻮْﺩُ ﺍﻟﻀَّﻤِﻴﺮِ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻗْﺮَﺏِ ﻣَﺬْﻛُﻮﺭٍ
“Asalnya tempat kembalinya dhomir adalah kepada lafadz yang paling dekat sebelumnya”.
Misalnya Firman Allah Ta’ala :
وَنَادٰى نُوْحُ اِبْنَهٗ
“… Dan Nuh memanggil anaknya, …” (QS. Hud 11: Ayat 42).
Dhamir “hu” pada “ibnahu” (anaknya), maka kata ganti “nya” kembali kepada NABIYULLAH Nuh alaihi salam, karena kata ini adalah yang terdekat sebelumnya.
Apabila kata sebelumnya berupa “mudhof – mudhofun ilaihi”, maka asalnya kembali kepada mudhof, karena ia adalah yang diperbincangkan, misalnya Firman Allah Ta’ala :
ﻭَﺇِﻥْ ﺗَﻌُﺪُّﻭﺍ ﻧِﻌْﻤَﺔَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻟَﺎ ﺗُﺤْﺼُﻮﻫَﺎ ۗ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya” (QS. AN Nahl (16) : 18).
Dhomir “haa” pada kata “kata tuhshuuhaa”, maka kata ganti “nya”, kembali kepada Ni’mah. Ia adalah mudhof, sedangkan mudhof ilaihnya adalah Allah.
Namun terkadang juga tempat kembalinya adalah mudhof ilaih, misalnya Firman Allah Ta’ala :
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يٰهَامٰنُ ابْنِ لِيْ صَرْحًا لَّعَلِّيْۤ اَبْلُغُ الْاَسْبَابَ # سْبَابَ السَّمٰوٰتِ فَاَطَّلِعَ اِلٰۤى اِلٰهِ مُوْسٰى وَاِنِّيْ لَاَظُنُّهٗ كَاذِبًا ۗ
“Dan Fir’aun berkata, Wahai Haman! Buatkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi agar aku sampai ke pintu-pintu,” (yaitu) pintu-pintu langit agar aku dapat melihat Tuhannya Musa, tetapi aku tetap memandangnya sebagai seorang pendusta…” (QS. Ghafir 40: Ayat 35 – 36).
Kata “لَاَظُنُّهٗ” (aku (Fir’aun) memandangnya), kata ganti “nya” pada lafazh “laa azhunnuhu”, dhomir “haa” kembali kepada NABIYULLAH Musa alaihi salam. Sebagian ulama memberikan kaedah jika mudhofnya berupa kata “كل” atau “جميع”, maka dhomir kembalinya kepada mudhofun ilaihi.
Tentunya kaedah diatas adalah secara umumnya atau globalnya, karena pada konteks kalimat tertentu bisa jadi dhomirnya tidak kembali kepada kata yang terdekat, misalnya Firman Allah Ta’ala :
اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَاَنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَـكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِ ۗ
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah)..” (QS. Al-Hadid 57: Ayat 7).
Dhomir mustatir (kata ganti yang tidak nampak) pada kata “جَعَلَـكُمْ” (dia telah menjadikan kamu), yaitu “huwa” (dia), kembalinya kepada Allah, bukan kepada Rasul, padahal kata ini yang lebih dekat dibandingkan kata Allah, alasannya adalah konteks kalimatnya mengindikasikan hal tersebut.
Ditulis oleh : Abu Sa’id Neno Triyono