Keadilan dan Karunia Allah antara Surga, Neraka, dan Takdir
Imam ath-Thahawi rahimahullah berkata:
“Surga dan neraka adalah makhluk yang tidak akan pernah musnah dan tidak akan lenyap selamanya.
Allah Ta’ala telah menciptakan surga dan neraka sebelum menciptakan makhluk, dan telah menetapkan siapa yang menjadi penghuninya.
Siapa yang Dia kehendaki masuk surga, itu merupakan karunia dari-Nya; dan siapa yang Dia kehendaki masuk neraka, itu merupakan keadilan dari-Nya.
Setiap orang akan beramal sesuai dengan apa yang telah ditentukan baginya, dan akan berakhir pada tempat yang diciptakan untuknya.
Kebaikan dan keburukan semuanya telah ditakdirkan bagi para hamba.”
Imam Ibn Abiy al-‘Izz al-Hanafiy rahimahullah berkata:
Adapun ucapannya: "Sesungguhnya surga dan neraka adalah dua makhluk yang telah diciptakan," maka Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa surga dan neraka adalah makhluk yang telah diciptakan dan telah ada saat ini.
Ahlus Sunnah senantiasa berpegang pada keyakinan ini, hingga muncul segolongan dari kalangan Mu'tazilah dan Qadariyyah yang mengingkarinya.
Mereka berkata: "Bahkan Allah baru akan menciptakan keduanya pada hari Kiamat!"
Yang mendorong mereka untuk berkeyakinan demikian adalah pokok pemikiran mereka yang rusak — yakni bahwa mereka membuat bagi Allah “syariat buatan”, menetapkan aturan bagi perbuatan-Nya, dan berkata: “Selayaknya Allah melakukan ini, dan tidak sepatutnya melakukan itu.”
Mereka pun mengukur perbuatan Allah dengan perbuatan makhluk, sehingga menyerupakan Allah dengan makhluk dalam hal perbuatan.
Lalu paham Jahmiyyah meresap ke dalam diri mereka, hingga menjadikan mereka — di samping menyerupakan Allah (tasybih) — juga meniadakan sifat-sifat-Nya (ta'thil).
Mereka berkata: “Menciptakan surga sebelum datangnya hari pembalasan adalah perbuatan sia-sia, karena surga akan menjadi tidak berguna dalam waktu yang panjang.”
Akibatnya, mereka menolak nash-nash yang bertentangan dengan “syariat batil” yang mereka buat-buat untuk Allah, memalingkan maknanya dari tempat yang semestinya, serta menyesatkan dan menuduh bid‘ah orang-orang yang menyelisihi “syariat” buatan mereka itu.
Di antara dalil dari ayat-ayat al-Qur’an adalah firman Allah Ta'ala tentang surga:
- “(yang) disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ali ‘Imran: 133)
- “(yang) disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.” (al-Hadid: 21)
Dan tentang neraka:
- “(yang) disediakan bagi orang-orang kafir.” (al-Baqarah: 24)
- “Sesungguhnya Jahannam itu (selalu) menjadi tempat mengintai, sebagai tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas.” (an-Naba’: 21–22)
Serta firman Allah Ta'ala:
- “Dan sungguh, dia (Muhammad ï·º) benar-benar telah melihatnya (Jibril dalam rupanya yang asli) pada kali yang lain, (yaitu ketika) di Sidratul Muntaha, di dekatnya ada Surga al-Ma'wa.” (an-Najm: 13–15)
Nabi ï·º sungguh telah melihat Sidratul Muntaha, dan di sisinya beliau melihat Surga al-Ma'wa — sebagaimana disebutkan dalam ash-Shahihain dari hadis Anas dalam kisah Isra’.
Pada bagian akhirnya disebutkan:
“Kemudian Jibril membawaku hingga sampai ke Sidratul Muntaha. Lalu ia diliputi oleh warna-warna yang aku tidak tahu apa itu.”
Beliau ï·º bersabda:
“Kemudian aku masuk ke surga, ternyata kubah-kubahnya dari mutiara, dan tanahnya dari kesturi.”
Dalam ash-Shahihain dari hadis Abdullah bin ‘Umar rhadiyallahu 'anhuma, Rasulullah ï·º bersabda:
“Sesungguhnya apabila salah seorang di antara kalian meninggal dunia, maka akan diperlihatkan kepadanya tempat duduknya (di akhirat) setiap pagi dan petang.
Jika ia termasuk penghuni surga, maka diperlihatkan kepadanya tempatnya di surga; dan jika ia termasuk penghuni neraka, maka diperlihatkan kepadanya tempatnya di neraka.
Lalu dikatakan kepadanya: ‘Inilah tempatmu, hingga Allah membangkitkanmu pada hari Kiamat.’”
Telah disebutkan sebelumnya hadis al-Barra’ bin ‘Azib rhadiyallahu 'anhu tentang hal ini, di dalamnya disebutkan:
“Seorang penyeru berseru dari langit: ‘Sungguh, hamba-Ku telah berkata benar; maka bentangkanlah untuknya hamparan dari surga, dan bukakanlah baginya sebuah pintu menuju surga.’
Maka datanglah kepadanya semerbak harum dan kesejukan dari surga...”
Dan telah disebutkan sebelumnya hadis Anas dengan makna yang sama seperti hadis al-Barra’.
Dalam Shahih Muslim, dari ‘Aisyah rhadiyallahu 'anha, ia berkata:
"Terjadi gerhana matahari pada masa hidup Rasulullah."
Ia kemudian menyebutkan hadis tersebut, dan di dalamnya disebutkan bahwa Rasulullah ï·º bersabda:
'Aku melihat pada tempat berdiriku ini segala sesuatu yang dijanjikan kepada kalian; hingga aku melihat diriku hendak mengambil setandan buah dari surga ketika kalian melihatku maju; dan aku juga melihat Jahannam saling menghancurkan satu sama lain ketika kalian melihatku mundur.’
Dalam ash-Shahihain — dengan lafazh milik al-Bukhari — dari Abdullah bin ‘Abbas rhadhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
"Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah ï·º."
Lalu disebutkan hadisnya, di dalamnya terdapat sabda beliau ï·º:
Mereka berkata: 'Wahai Rasulullah, kami melihat engkau seperti hendak mengambil sesuatu di tempat engkau berdiri, lalu kami melihat engkau mundur?'
Beliau menjawab: 'Sesungguhnya aku melihat surga, dan aku hendak mengambil seuntai buah darinya; seandainya aku berhasil mengambilnya, niscaya kalian akan memakannya selama dunia masih ada.
Dan aku juga melihat neraka, dan aku belum pernah melihat pemandangan yang lebih mengerikan daripada hari ini.
Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita.'
Mereka bertanya: 'Karena apa, wahai Rasulullah?'
Beliau menjawab: 'Karena kekufuran mereka.'
Mereka berkata: 'Apakah mereka kufur kepada Allah?'
Beliau menjawab: “Mereka kufur terhadap suami dan mengingkari kebaikan. Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang waktu, lalu ia melihat sesuatu darimu (yang tidak ia sukai), ia berkata: “Aku tidak pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu!”’
Dalam Shahih Muslim, dari hadis Anas rhadiyallahu 'anhu, Rasulullah ï·º bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian melihat apa yang telah aku lihat, niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa.”
Mereka bertanya: “Apakah yang engkau lihat, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Aku telah melihat surga dan neraka.”
Dalam al-Muwaththa’ dan as-Sunan, dari hadis Ka'b bin Malik rhadiyallahu 'anhu, Rasulullah ï·º bersabda:
“Sesungguhnya ruh seorang mukmin (setelah wafat) menjadi seperti burung yang bergantung di pepohonan surga,
hingga Allah mengembalikannya ke jasadnya pada hari Kiamat.”
Dan ini adalah dalil yang jelas bahwa ruh orang-orang beriman memasuki surga sebelum datangnya hari Kiamat.
Dalam Shahih Muslim, as-Sunan, dan al-Musnad, dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ï·º bersabda:
“Ketika Allah menciptakan surga dan neraka, Dia mengutus Jibril kepada surga seraya berfirman:
‘Pergilah, dan lihatlah surga itu serta apa yang telah Aku siapkan di dalamnya bagi para penghuninya.’
Maka Jibril pun pergi dan melihatnya, serta melihat apa yang telah Allah siapkan bagi penghuninya di dalamnya. Ia kembali dan berkata:
‘Demi kemuliaan-Mu, tidaklah seorang pun mendengar tentangnya melainkan pasti akan memasukinya.’
Maka Allah memerintahkan agar surga dikelilingi dengan hal-hal yang dibenci, kemudian Dia berfirman:
‘Kembalilah, dan lihatlah kepadanya serta kepada apa yang telah Aku siapkan di dalamnya bagi penghuninya.’
Maka Jibril kembali melihatnya, lalu ia kembali dan berkata:
‘Demi kemuliaan-Mu, sungguh aku khawatir tidak ada seorang pun yang akan memasukinya.’
Kemudian Allah mengutusnya kepada neraka seraya berfirman:
‘Pergilah dan lihatlah kepadanya serta kepada apa yang telah Aku siapkan di dalamnya bagi para penghuninya.’
Maka Jibril pergi dan melihatnya, ternyata sebagian bagiannya saling bertumpukan satu sama lain. Ia kembali dan berkata:
‘Demi kemuliaan-Mu, tidak ada seorang pun yang akan memasukinya bila mendengarnya.’
Maka Allah memerintahkan agar neraka dikelilingi dengan berbagai syahwat, kemudian Dia berfirman:
‘Pergilah, dan lihatlah kepada apa yang telah Aku siapkan di dalamnya bagi para penghuninya.’
Maka Jibril pun kembali melihatnya, lalu ia kembali dan berkata:
‘Demi kemuliaan-Mu, sungguh aku khawatir tidak ada seorang pun yang akan selamat darinya kecuali pasti akan memasukinya.’”
Dan yang semisal dengan hadis ini sangat banyak disebutkan dalam Sunnah.
Adapun menurut pendapat yang mengatakan bahwa surga yang dijanjikan kepada orang-orang beriman itu adalah surga yang dahulu dimasuki oleh Nabi Adam, kemudian beliau dikeluarkan darinya — maka pendapat bahwa surga tersebut telah ada saat ini adalah sesuatu yang jelas dan nyata.
Sedangkan perbedaan pendapat dalam masalah ini telah dikenal luas.
Adapun syubhat (kerancuan) dari orang-orang yang mengatakan bahwa surga belum diciptakan sekarang adalah:
Seandainya surga telah diciptakan saat ini, niscaya secara pasti ia akan binasa pada hari Kiamat, dan setiap makhluk yang ada di dalamnya akan binasa dan mati.
Mereka berdalil dengan firman Allah Ta'ala:
- “Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya.” (QS. al-Qashash: 88)
dan firman-Nya:
- “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian.” (QS. Ali ‘Imran: 185)
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dalam Jami'-nya dari hadis Ibn Mas'ud, ia berkata:
Rasulullah ï·º bersabda:
“Aku bertemu dengan Ibrahim pada malam aku diisra'kan.
Ia berkata: ‘Wahai Muhammad, sampaikan salam dariku kepada umatmu, dan beritahukan kepada mereka bahwa surga itu baik tanahnya, segar airnya, dan ia adalah hamparan luas.
Tanamannya adalah: Subhanallah, wal-hamdu lillah, wa laa ilaha illallah, wallahu akbar.’”
Beliau (at-Tirmidzi) berkata: “Hadis ini hasan gharib.”
Dalam Jami' at-Tirmidzi juga diriwayatkan dari Abu az-Zubair, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi ï·º bersabda:
“Barang siapa mengucapkan Subhanallah wa bihamdih, maka akan ditanamkan untuknya satu pohon kurma di surga.”
Beliau (at-Tirmidzi) berkata: “Ini adalah hadis hasan sahih.”
Mereka (para pengingkar) berkata:
“Seandainya surga telah diciptakan dan disempurnakan, niscaya ia tidak akan berupa hamparan tanah (yang masih kosong), dan sabda Nabi ï·º tentang ‘tanaman surga’ tidak lagi memiliki makna.”
Mereka juga berkata: “Demikian pula firman Allah Ta'ala tentang istri Fir'aun yang berdoa:
‘Wahai Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu di dalam surga.’” (QS. at-Tahrim: 11)
Jawabannya adalah: Apabila maksud kalian dengan perkataan “surga sekarang belum ada” adalah bahwa keadaannya seperti tiupan sangkakala yang belum terjadi dan kebangkitan manusia dari kubur yang belum terlaksana, maka ini jelas merupakan kebatilan.
Pernyataan itu telah terbantahkan oleh dalil-dalil yang telah disebutkan sebelumnya, serta banyak lagi dalil lain yang tidak disebutkan di sini.
Namun, apabila maksud kalian adalah bahwa penciptaan seluruh isi surga yang Allah siapkan bagi para penghuninya belum sempurna, dan bahwa Allah senantiasa menambahkan di dalamnya sesuatu demi sesuatu, serta bahwa ketika orang-orang beriman memasukinya Allah akan menciptakan di dalamnya perkara-perkara baru yang lain — maka ini benar dan tidak dapat dibantah.
Dalil-dalil yang kalian jadikan pegangan hanyalah menunjukkan makna ini saja, tidak lebih.
Adapun dalil yang kalian jadikan pegangan berupa firman Allah Ta'ala:
- “Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya.” (al-Qashash: 88)
Maka kesalahan kalian bersumber dari buruknya pemahaman terhadap makna ayat ini.
Kalian menjadikannya dalil bahwa surga dan neraka belum diciptakan sekarang — sebagaimana saudara-saudara kalian (dari kelompok lain) menjadikannya dalil bahwa surga dan neraka kelak akan musnah, hancur, dan para penghuninya akan mati.
Dengan demikian, kalian dan saudara-saudara kalian sama-sama tidak diberi taufik untuk memahami makna ayat ini dengan benar, sedangkan yang diberi taufik untuk memahaminya hanyalah para imam Islam.
Di antara perkataan mereka (para imam) dalam menafsirkan ayat tersebut adalah:
Bahwa yang dimaksud dengan “segala sesuatu” ialah segala sesuatu yang telah Allah tetapkan atasnya hukum kefanaan dan kebinasaan — maka semuanya pasti binasa.
Adapun surga dan neraka, keduanya diciptakan untuk kekal, bukan untuk binasa; demikian pula ‘Arsy, karena ia adalah atap surga.
Sebagian ulama mengatakan: “Yang dimaksud dengan ‘kecuali wajah-Nya’ adalah kecuali kerajaan-Nya (mulkahu).”
Sebagian lainnya berkata: “Yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dilakukan demi mengharap wajah-Nya, maka itulah yang tidak akan binasa.”
Dan dikatakan pula bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya:
“Setiap yang ada di atasnya (bumi) akan binasa.” (ar-Rahman: 26) para malaikat berkata: “Penduduk bumi telah binasa.”
Lalu mereka berharap agar mereka sendiri dapat kekal.
Maka Allah mengabarkan bahwa penduduk langit dan bumi semuanya akan mati, lalu Dia berfirman:
“Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya.” (al-Qashash: 88) yakni, karena Dia-lah Dzat yang Mahahidup dan tidak akan mati.
Maka para malaikat pun akhirnya yakin bahwa mereka juga akan mati.
Para imam berkata demikian sebagai bentuk upaya untuk mengompromikan makna ayat ini dengan dalil-dalil yang tegas dan pasti yang menunjukkan bahwa surga dan neraka tetap kekal, sebagaimana akan dijelaskan setelah ini — insya Allah Ta'ala.
Adapun ucapannya: “Keduanya (surga dan neraka) tidak akan fana selamanya dan tidak akan binasa,” — maka ini adalah pendapat mayoritas imam, baik dari kalangan salaf maupun khalaf.
Namun, ada pula sekelompok ulama dari kalangan salaf maupun khalaf yang berpendapat bahwa surga kekal abadi, sedangkan neraka pada akhirnya akan fana.
Kedua pendapat ini banyak disebutkan dalam berbagai kitab tafsir dan literatur ilmiah lainnya.
Adapun yang berpendapat bahwa surga dan neraka akan fana (binasa) adalah Jahm bin Shafwan, pemimpin kaum Mu'aththilah — yaitu orang-orang yang meniadakan sifat-sifat Allah.
Ia tidak memiliki satu pun pendahulu dalam pendapat ini; tidak dari kalangan sahabat, tidak dari para tabi'in yang mengikuti mereka dengan ihsan, tidak dari para imam kaum Muslimin, dan tidak pula dari kalangan Ahlus Sunnah.
Seluruh Ahlus Sunnah mengingkari pendapatnya, bahkan mengkafirkannya karenanya, dan mereka menyeru untuk menolak serta memperingatkan darinya dan dari para pengikutnya di berbagai penjuru dunia.
Jahm mengucapkan pendapat ini berdasarkan pokok pemikiran rusak yang ia yakini, yaitu anggapan bahwa tidak mungkin ada rangkaian peristiwa yang tidak berkesudahan.
Prinsip inilah yang menjadi landasan utama bagi para ahli kalam yang tercela, yang mereka jadikan argumen untuk menyatakan bahwa seluruh jasad (makhluk fisik) adalah makhluk baru (hadits), dan bahwa segala sesuatu yang tidak pernah lepas dari peristiwa-peristiwa baru juga tergolong makhluk baru (hadits).
Mereka menjadikan keyakinan ini sebagai pondasi pokok dalam menetapkan bahwa alam semesta ini diciptakan (bukan qadim).
Jahm pun beranggapan bahwa alasan yang menghalangi kemungkinan adanya rangkaian kejadian yang tidak berkesudahan di masa lalu, juga menghalangi adanya rangkaian kejadian tanpa akhir di masa depan.
Dengan kata lain, menurutnya, tidak mungkin bagi Allah untuk terus-menerus melakukan perbuatan di masa depan, sebagaimana — menurut keyakinannya — tidak mungkin pula bagi Allah untuk terus-menerus berbuat di masa lalu.
Sedangkan Abu al-Hudzail al-'Allaf, guru besar kaum Mu'tazilah, sepakat dengan Jahm dalam prinsip dasar ini, namun ia berkata: “Kalau begitu, hal ini meniscayakan bahwa seluruh gerakan pada akhirnya akan lenyap.”
Karena itu, ia berpendapat bahwa gerak para penghuni surga dan neraka kelak akan berhenti, hingga mereka berada dalam keadaan diam selamanya, dan tidak seorang pun dari mereka mampu bergerak sedikit pun!
Telah disebutkan sebelumnya isyarat tentang perbedaan pandangan manusia terkait keberlangsungan peristiwa-peristiwa di masa lalu dan masa depan — yaitu permasalahan tentang keabadian perbuatan Allah Ta'ala.
Sesungguhnya Allah senantiasa menjadi Rabb yang Mahakuasa dan terus-menerus berbuat apa yang Dia kehendaki, sebab Dia senantiasa hidup, berilmu, dan berkuasa.
Maka, mustahil perbuatan itu terlarang bagi-Nya karena zat-Nya, kemudian tiba-tiba menjadi mungkin bagi-Nya karena zat-Nya — tanpa adanya sesuatu yang baru.
Tidak ada batas awal tertentu yang menjadikan perbuatan itu baru mungkin dilakukan setelah sebelumnya mustahil dilakukan.
Pemahaman seperti ini, cukup dengan sekadar membayangkannya saja, sudah cukup untuk memastikan kebatilannya.
Adapun keabadian surga, dan bahwa ia tidak akan fana dan tidak akan binasa, maka hal ini termasuk perkara yang diketahui secara pasti bahwa Rasulullah ï·º telah mengabarkannya.
Allah Ta'ala berfirman:
- “Adapun orang-orang yang berbahagia, maka mereka di dalam surga; kekal di dalamnya selama masih ada langit dan bumi, kecuali apa yang dikehendaki oleh Rabbmu — sebagai karunia yang tiada putusnya.” (QS. Hud: 108)
Maksudnya, karunia yang tidak akan terputus.
Dan firman-Nya ini tidak bertentangan dengan ayat sebelumnya: “Kecuali apa yang dikehendaki oleh Rabbmu.” (QS. Hud: 107)
Para ulama salaf berselisih pendapat tentang makna pengecualian ini.
Sebagian berkata:
Maksudnya adalah “kecuali selama masa mereka berada di dalam neraka.”
Ini berlaku bagi orang-orang beriman yang sempat masuk neraka, kemudian dikeluarkan darinya — bukan bagi seluruh penghuni surga.
Sebagian yang lain berkata:
Maksudnya, “kecuali selama masa mereka berada di padang mahsyar.”
Dan ada pula yang berpendapat:
“Kecuali selama masa mereka berada di alam kubur dan di padang mahsyar.”
Sebagian ulama menjelaskan:
Pengecualian ini hanyalah pengecualian yang disebutkan Allah, namun tidak akan terjadi, sebagaimana ucapan seseorang:
“Demi Allah, aku pasti akan memukulmu, kecuali jika aku melihat alasan lain.”
Padahal ia tidak melihat alasan lain itu, bahkan telah memastikan bahwa ia benar-benar akan melakukannya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa kata “Ø¥ِÙ„َّا” di sini bermakna “dan” (Ùˆ), sebagaimana pendapat sebagian ahli nahwu, namun pendapat ini lemah.
Adapun Sibawaih berpendapat bahwa “Ø¥ِÙ„َّا” di sini bermakna “tetapi” (لكن), sehingga pengecualiannya bersifat munqathi' (terputus).
Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Jarir, yang berkata:
“Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak menyalahi janji-Nya, dan Dia telah menyambung pengecualian tersebut dengan firman-Nya:
‘Sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.’ (Hud: 108)”
Mereka berkata: Maknanya serupa dengan ucapan seseorang: “Aku menempatkanmu di rumahku selama setahun, kecuali apa yang aku kehendaki,” yakni, selain apa yang aku kehendaki, atau tetapi apa yang aku kehendaki sebagai tambahan atasnya.
Ada pula yang berpendapat bahwa pengecualian (Ø¥ِÙ„َّا Ù…َا Ø´َاءَ رَبُّÙƒَ) itu dimaksudkan untuk menegaskan kepada mereka bahwa — meskipun mereka kekal — mereka tetap berada di bawah kehendak Allah, bukan berarti mereka keluar dari kehendak-Nya.
Hal itu tidak bertentangan dengan ketetapan dan keputusan Allah terhadap mereka untuk kekal di dalam surga.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
- “Dan sungguh, jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, kemudian engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong pun terhadap Kami karenanya.” (QS. al-Isra’: 86)
Dan firman-Nya Ta'ala:
- “Maka jika Allah menghendaki, niscaya Dia mengunci hatimu.” (QS. asy-Syura: 24)
Dan firman-Nya:
- “Katakanlah (Nabi Muhammad): Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak akan membacakannya kepadamu, dan tidak pula Dia memperkenalkannya kepadamu.” (QS. Yunus: 16)
Ayat-ayat semacam ini sangatlah banyak.
Dalam semuanya, Allah Subhanahu wa Ta‘ala memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya bahwa seluruh urusan berada di bawah kehendak-Nya —
apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi.
Ada pula yang berpendapat bahwa kata “Ù…َا” dalam ayat tersebut bermakna “Ù…َÙ†ْ” (siapa),
yakni: “kecuali siapa yang Allah kehendaki untuk dimasukkan ke dalam neraka karena dosa-dosanya, dari kalangan orang-orang yang berbahagia.”
Ada pula pendapat lain yang berbeda.
Namun, bagaimanapun juga, pengecualian ini termasuk ayat yang mutasyabih (tidak tegas maknanya), sedangkan firman-Nya: “Sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (Hud: 108), adalah ayat yang muhkam (jelas dan tegas maknanya), sebagaimana pula firman-Nya: “Sesungguhnya ini adalah rezeki Kami yang tidak ada habisnya.” (Shaad: 54) dan firman-Nya: “Buah-buahannya terus-menerus, begitu pula naungannya.” (ar-Ra'd: 35) serta firman-Nya: “Dan mereka tidak akan dikeluarkan darinya.” (al-Hijr: 48)
Sungguh, Allah telah menegaskan kekekalan penghuni surga dengan lafaz-lafaz yang menunjukkan keabadian di banyak tempat dalam al-Qur’an.
Dan Dia memberitakan bahwa mereka: “Tidak akan merasakan di dalamnya kematian, kecuali kematian yang pertama.” (ad-Dukhan: 56)
Pengecualian ini bersifat munqathi' (terputus).
Apabila engkau menggabungkannya dengan pengecualian dalam firman Allah ta'ala: “Kecuali apa yang dikehendaki oleh Rabbmu.” (Hud: 107) maka akan jelas bagimu maksud dari kedua ayat tersebut.
Yaitu bahwa pengecualian tersebut menunjuk kepada masa sebelum mereka masuk ke dalam surga, sebagaimana pengecualian “kematian pertama” menunjukkan kematian yang terjadi sebelum kehidupan abadi mereka.
Karena kematian pertama itu mendahului kehidupan mereka yang kekal, dan masa sebelum mereka berada di surga mendahului kekekalan mereka di dalamnya.
Dalil-dalil dari Sunnah tentang keabadian dan kekalnya surga sangat banyak.
Di antaranya sabda Nabi ï·º:
“Siapa yang masuk surga, ia akan hidup dalam kenikmatan dan tidak akan menderita; ia kekal dan tidak akan mati.”
Dan sabda beliau ï·º:
“Seorang penyeru akan berseru: ‘Wahai penghuni surga! Sesungguhnya bagi kalian (kenikmatan): kalian akan sehat dan tidak akan sakit selamanya, kalian akan muda dan tidak akan menua selamanya, dan kalian akan hidup dan tidak akan mati selamanya.’”
Telah disebutkan sebelumnya tentang penyembelihan kematian antara surga dan neraka, lalu akan dikatakan:
“Wahai penghuni surga, (inilah) kehidupan abadi tanpa kematian; dan wahai penghuni neraka, (inilah) kehidupan abadi tanpa kematian.”
Adapun mengenai keabadian dan kekekalan neraka, manusia berselisih pendapat dalam hal ini menjadi delapan pendapat.
Pendapat pertama:
Bahwa siapa pun yang masuk ke dalam neraka tidak akan pernah keluar darinya selama-lamanya. Ini adalah pendapat kaum Khawarij dan Mu'tazilah.
Pendapat kedua:
Bahwa para penghuninya akan disiksa di dalamnya untuk sementara waktu, kemudian tabiat mereka berubah, hingga menjadi tabiat yang bersifat api, sehingga mereka merasakan kenikmatan di dalamnya karena kesesuaian antara tabiat mereka dengan api tersebut.
Ini adalah pendapat pemimpin kaum Ittihadiyyah (panteis), yaitu Ibn ‘Arabi ath-Tha'i.
Pendapat ketiga:
Bahwa para penghuninya akan disiksa di dalamnya sampai waktu yang telah ditentukan,
kemudian mereka dikeluarkan darinya, dan setelah itu digantikan oleh kaum lain.
Pendapat ini pernah diucapkan oleh orang-orang Yahudi kepada Nabi ï·º, namun beliau mendustakan mereka dalam hal itu.
Dan Allah Ta'ala pun membantah mereka dengan firman-Nya:
“Mereka berkata: ‘Neraka tidak akan menyentuh kami kecuali beberapa hari yang dapat dihitung.’ Katakanlah: ‘Sudahkah kalian menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan menyalahi janji-Nya; ataukah kalian mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kalian ketahui?’
Tidak demikian! Barang siapa berbuat dosa dan dosanya meliputi dirinya, maka mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 80–81)
Pendapat keempat:
Bahwa para penghuninya akan dikeluarkan darinya, dan neraka akan tetap ada sebagaimana keadaannya, namun tidak ada seorang pun yang tinggal di dalamnya.
Pendapat kelima:
Bahwa neraka akan binasa dengan sendirinya, karena ia adalah makhluk yang baru (hadits), dan setiap yang baru mustahil kekal selamanya.
Ini adalah pendapat al-Jahm dan para pengikutnya, dan menurut mereka tidak ada perbedaan antara surga dan neraka dalam hal ini — sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Pendapat keenam:
Bahwa gerakan para penghuni neraka akan lenyap; mereka akan menjadi benda mati yang tidak merasakan penderitaan sedikit pun.
Ini adalah pendapat Abu al-Hudzail al-‘Allaf, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Pendapat ketujuh:
Bahwa Allah akan mengeluarkan dari neraka siapa saja yang Dia kehendaki — sebagaimana disebutkan dalam Sunnah —
Kemudian Dia membiarkannya (neraka) selama yang Dia kehendaki, lalu memusnahkannya sepenuhnya, karena Allah telah menentukan baginya batas waktu tertentu yang akan berakhir.
Pendapat kedelapan:
Bahwa Allah Ta'ala akan mengeluarkan dari neraka siapa yang Dia kehendaki — sebagaimana disebutkan dalam Sunnah — kemudian Dia membiarkan orang-orang kafir tetap tinggal di dalamnya dengan keberadaan yang tiada akhir, sebagaimana ditegaskan oleh asy-Syaikh (Ibn Taymiyyah) rahimahullah.
Dan selain dua pendapat terakhir ini, seluruh pendapat lainnya jelas batil.
Kedua pendapat ini — yang sama-sama berasal dari kalangan Ahlus Sunnah — perlu ditinjau dalil-dalilnya masing-masing.
Di antara dalil bagi pendapat pertama dari keduanya adalah firman Allah Ta'ala:
“(Allah berfirman:) Neraka adalah tempat tinggal kalian, kekal di dalamnya, kecuali apa yang Allah kehendaki. Sesungguhnya Rabbmu Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.” (al-An'am: 128)
Dan firman-Nya Ta'ala:
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempat mereka) di dalam neraka; bagi mereka di dalamnya hembusan dan tarikan napas (yang keras). Mereka kekal di dalamnya selama langit dan bumi masih ada, kecuali apa yang dikehendaki oleh Rabbmu. Sesungguhnya Rabbmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (Hud: 106–107)
Dan tidak disebutkan setelah dua pengecualian ini (bagi penghuni neraka) apa yang disebutkan setelah pengecualian bagi penghuni surga, yaitu firman-Nya:
“Sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (Hud: 108)
Juga firman-Nya Ta'ala:
“Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya.” (an-Naba’: 23)
Pendapat ini — yakni pendapat bahwa neraka akan fana sementara surga tidak — dinukil dari ‘Umar bin al-Khaththab, Ibnu Mas'ud, Abu Hurairah, Abu Sa'id, dan selain mereka.
‘Abd bin Humaid meriwayatkan dalam Tafsir-nya yang masyhur, dengan sanadnya sampai kepada ‘Umar, bahwa ia berkata:
“Seandainya para penghuni neraka tinggal di dalam neraka selama kadar pasir ‘Alij (yakni hamparan padang pasir yang amat luas), niscaya tetap akan datang bagi mereka waktu untuk keluar darinya.”
Ia menyebutkan hal ini dalam tafsir firman Allah Ta'ala:
“Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya.” (an-Naba’: 23)
Mereka (pendukung pendapat ini) berkata:
“Sesungguhnya neraka merupakan akibat dari kemurkaan Allah, sedangkan surga merupakan akibat dari rahmat-Nya. Dan Rasulullah ï·º bersabda: ‘Ketika Allah menetapkan penciptaan makhluk, Dia menulis dalam sebuah kitab yang berada di sisi-Nya di atas ‘Arsy: Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku.’
Dalam riwayat lain: “(Rahmat-Ku) mengalahkan kemurkaan-Ku.”
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Mereka — yaitu pihak yang berpendapat bahwa neraka akan berakhir — beralasan sebagai berikut:
Bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam al-Qur’an selalu menggambarkan azab dengan ungkapan-ungkapan seperti:
- “Azab pada hari yang besar.” (al-An'am: 15)
- “Azab yang pedih.” (al-Baqarah: 10)
- “Azab yang mandul (tidak membawa kebaikan).” (al-Hajj: 55)
Namun Allah tidak pernah — di satu tempat pun — menyebut kenikmatan dengan ungkapan “kenikmatan pada suatu hari.”
Dan Allah Ta'ala berfirman:
“Azab-Ku Aku timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki, dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (al-A'raf: 156)
Serta firman-Nya — menukil perkataan para malaikat:
“Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu.” (Ghafir: 7)
Mereka berkata:
Maka rahmat Allah mesti meliputi seluruh makhluk, termasuk orang-orang yang disiksa.
Seandainya mereka kekal dalam siksaan tanpa akhir, niscaya rahmat Allah tidak mencakup mereka.
Telah tetap dalam hadis sahih bahwa lamanya hari Kiamat adalah lima puluh ribu tahun, dan para penghuni azab berbeda-beda kadar lamanya disiksa sesuai dengan berat ringannya dosa-dosa mereka.
Dan — menurut mereka — tidaklah sesuai dengan hikmah Dzat Yang Mahabijaksana, dan tidak pula sejalan dengan rahmat Dzat Yang Maha Penyayang, bahwa Allah menciptakan makhluk untuk disiksa selama-lamanya tanpa akhir.
Adapun menciptakan makhluk untuk diberi kenikmatan abadi dan kebaikan yang tidak berkesudahan, maka hal itu termasuk konsekuensi hikmah dan ihsan-Nya, karena hal itu dikehendaki karena zat-Nya sendiri.
Sedangkan pembalasan dan hukuman adalah hal yang dikehendaki karena sebab lain, bukan karena zatnya sendiri.
Mereka juga berkata:
Segala dalil yang menunjukkan kekekalan neraka, keabadiannya, tidak keluarnya penghuninya, bahwa azabnya menetap dan terus-menerus — semuanya benar dan tidak diperselisihkan. Ayat-ayat tersebut memang menunjukkan kekekalan di dalam negeri azab selama neraka itu masih ada.
Akan tetapi, makna kekekalan itu — menurut mereka — hanyalah selama neraka masih eksis.
Apabila telah tiba waktunya kehancurannya, maka lenyaplah pula kekekalan itu.
Adapun orang-orang yang bertauhid, maka mereka akan dikeluarkan darinya ketika masa mereka di dalamnya telah berakhir.
Mereka menganalogikan hal itu sebagai berikut:
Perbedaan antara seseorang yang keluar dari penjara sementara penjaranya tetap berdiri, dengan seseorang yang terbebas karena penjaranya telah hancur dan lenyap.
Di antara dalil orang-orang yang berpendapat bahwa neraka akan tetap ada dan tidak akan binasa, ialah firman-firman Allah Ta'ala:
- “Dan bagi mereka azab yang menetap.” (al-Ma'idah: 37)
- “Tidak diringankan azab itu dari mereka, dan mereka di dalamnya berputus asa.” (az-Zukhruf: 75)
- “Maka Kami tidak akan menambah kalian kecuali azab.” (an-Naba’: 30)
- “Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (an-Nisa’: 57)
- “Dan mereka tidak akan dikeluarkan darinya.” (al-Hijr: 48)
- “Dan mereka tidak akan keluar dari neraka.” (al-Baqarah: 167)
- “Dan mereka tidak akan masuk surga hingga unta masuk ke lubang jarum.” (al-A'raf: 40)
- “Mereka tidak dibinasakan hingga mereka mati, dan tidak diringankan dari mereka azabnya.” (Fatir: 36)
- “Sesungguhnya azabnya adalah azab yang melekat.” (al-Furqan: 65) — yakni azab yang tetap, terus-menerus, dan tidak terputus.
Dan sungguh, hadis-hadis yang tersebar luas menunjukkan bahwa akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan “La ilaha illallah.”
Hadis-hadis tentang syafaat juga secara tegas menjelaskan bahwa orang-orang berdosa dari kalangan ahli tauhid akan keluar dari neraka, dan bahwa hukum ini khusus berlaku bagi mereka.
Seandainya orang-orang kafir juga keluar darinya, niscaya mereka setara dengan orang-orang beriman, dan tidak lagi menjadi kekhususan bagi ahli iman untuk dikeluarkan darinya.
Adapun kekalnya surga dan neraka, maka bukan karena zat keduanya, tetapi karena Allah yang mengekalkan keduanya.
Dan sabda beliau ï·º: “Dan Dia menciptakan bagi keduanya para penghuninya masing-masing.”
Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan untuk Jahannam banyak dari gologan jin dan manusia.” (al-A'raf: 179)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
“Rasulullah ï·º pernah diundang untuk menghadiri jenazah seorang anak kecil dari kalangan Anshar. Aku berkata: Wahai Rasulullah, berbahagialah anak ini — burung kecil dari burung-burung surga; ia belum berbuat dosa dan belum sempat beramal buruk.”
Maka beliau bersabda:
'Atau tidak demikian, wahai ‘Aisyah. Sesungguhnya Allah telah menciptakan untuk surga para penghuninya; Dia menciptakan mereka untuknya ketika mereka masih berada di sulbi ayah-ayah mereka.
Dan Dia menciptakan untuk neraka para penghuninya; Dia menciptakan mereka untuknya ketika mereka masih berada di sulbi ayah-ayah mereka.”
Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa'i.
Allah Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, untuk Kami uji (dengan perintah dan larangan); lalu Kami jadikan dia mampu mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan (yang benar): ada yang bersyukur dan ada pula yang sangat kufur.” (al-Insan: 2–3)
Yang dimaksud dengan petunjuk (hidayah) dalam ayat ini adalah hidayah umum (al-hidayah al-‘ammah).
Dan yang lebih umum lagi darinya adalah petunjuk yang disebutkan dalam firman Allah Ta'ala:
“(Yaitu Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk penciptaannya, kemudian memberinya petunjuk.” (Taha: 50)
Maka, seluruh makhluk terbagi menjadi dua jenis besar:
Pertama, makhluk yang tunduk dengan fitrahnya, yang digerakkan oleh tabiat dan ketetapan yang Allah tanamkan padanya,
dan kedua, makhluk yang bertindak dengan kehendak dan pilihannya sendiri, yang berbuat berdasarkan kesadaran, ilmu, dan pengenalan terhadap manfaat serta mudarat.
Allah memberi petunjuk kepada jenis pertama melalui tabiat yang Ia tetapkan bagi mereka, dan memberi petunjuk kepada jenis kedua melalui hidayah kehendak dan pilihan (hidayah iradiyyah), yang mengikuti kesadaran dan pengetahuan mereka tentang apa yang bermanfaat dan berbahaya bagi mereka.
Kemudian Allah membagi jenis makhluk yang berkehendak ini menjadi tiga jenis:
- Jenis yang tidak menghendaki kecuali kebaikan, dan tidak mungkin darinya muncul kehendak selain itu — yaitu para malaikat.
- Jenis yang tidak menghendaki kecuali kejahatan, dan tidak mungkin darinya muncul kehendak selain itu — yaitu para setan.
- Jenis yang dapat menghendaki keduanya — yaitu manusia.
Kemudian Allah menjadikan manusia menjadi tiga golongan:
- Golongan yang iman, pengetahuan, dan akalnya mengalahkan hawa nafsu serta syahwatnya — maka ia termasuk golongan para malaikat.
- Golongan yang sebaliknya — maka ia termasuk golongan para setan.
- Golongan yang syahwat kehewanannya mengalahkan akalnya — maka ia termasuk golongan hewan.
Dan maksudnya ialah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan dua macam keberadaan:
(1) keberadaan secara nyata (eksistensial), dan (2) keberadaan secara ilmu (konseptual).
Sebagaimana tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali dengan penciptaan-Nya, maka tidak ada petunjuk kecuali dengan pengajaran-Nya.
Semuanya itu merupakan bukti atas kesempurnaan kekuasaan-Nya, ketegasan keesaan-Nya, serta hakikat rububiyyah-Nya — Mahasuci dan Mahatinggi Dia.
Dan ucapan beliau (Imam ath-Thahawi): “Maka siapa di antara mereka yang Allah kehendaki masuk ke surga, itu merupakan karunia dari-Nya; dan siapa yang Dia kehendaki masuk ke neraka, itu merupakan keadilan dari-Nya,” dan seterusnya.
Termasuk hal yang wajib diketahui dan diyakini, bahwa Allah Ta'ala tidaklah menahan pahala kecuali apabila Dia menahan sebabnya, yaitu amal shalih.
Sebagaimana firman-Nya:
“Dan barang siapa mengerjakan amal shalih, sedang ia beriman, maka ia tidak akan takut terhadap kezaliman dan tidak pula terhadap pengurangan (haknya).” (Taha: 112)
Demikian pula, Allah tidaklah menghukum seseorang kecuali setelah terjadinya sebab yang menuntut hukuman itu, sebagaimana firman-Nya:
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh apa yang diperbuat tangan kalian sendiri, dan Dia memaafkan banyak (dari kesalahan kalian).” (asy-Syura: 30)
Dan Dia Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat Yang Maha Pemberi sekaligus Maha Penahan; tidak ada yang dapat menahan apa yang Dia berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Dia tahan.
Namun, apabila Dia melimpahkan karunia-Nya kepada seorang hamba berupa iman dan amal shalih, maka Dia tidak akan menahan konsekuensi dari karunia itu, sedikit pun.
Bahkan Dia akan menganugerahkan kepadanya pahala dan kedekatan dengan-Nya berupa kenikmatan yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.
Adapun bila Allah menahan karunia itu darinya, maka itu karena hilangnya sebab yang menuntutnya, yaitu amal shalih itu sendiri.
Tidak diragukan lagi bahwa Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, dan menyesatkan siapa yang Dia kehendaki.
Namun, semua itu terjadi berdasarkan hikmah dan keadilan dari-Nya.
Maka, ketika Allah menahan sebab-sebab — yaitu amal-amal shalih — maka penahanan itu sendiri merupakan wujud dari hikmah dan keadilan-Nya.
Adapun akibat-akibat (hasil) setelah adanya sebab-sebabnya, maka Allah tidak akan menahannya sama sekali, kecuali jika sebab-sebab itu tidak sah untuk menghasilkan akibat tersebut; baik karena rusaknya amal itu sendiri, atau karena adanya sesuatu yang meniadakan pengaruhnya.
Maka keadaan itu bisa disebabkan oleh tidak adanya unsur yang menuntut, atau karena adanya penghalang yang mencegah.
Dan apabila Allah menahan rahmat-Nya dan memberikan hukuman karena tidak adanya iman dan amal shalih — sementara Dia tidak menganugerahkan hal itu sejak awal — maka semua itu adalah berdasarkan hikmah dan keadilan-Nya yang sempurna.
Karena itu, Dia berhak dipuji dalam kedua keadaan: baik ketika Dia memberi maupun ketika Dia menahan. Dialah yang terpuji dalam setiap keadaan.
Setiap pemberian dari-Nya adalah karunia, dan setiap hukuman dari-Nya adalah keadilan.
Sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Bijaksana; Dia menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang layak dan sesuai. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu ayat, mereka berkata: ‘Kami tidak akan beriman hingga diberikan kepada kami seperti apa yang diberikan kepada rasul-rasul Allah.’ Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan risalah-Nya.” (al-An'am: 124)
Dan juga firman-Nya:
“Dan demikianlah Kami menguji sebagian mereka dengan sebagian yang lain agar mereka berkata: ‘Apakah orang-orang ini yang Allah beri nikmat di antara kami?’ Bukankah Allah lebih mengetahui siapa yang bersyukur?” (al-An'am: 53)
Dan ayat-ayat yang semakna dengan ini sangat banyak.
Akan datang penjelasan tambahan tentang hal ini, insya Allah Ta'ala.

