10 Hal yang Ulama Sepakati dalam Bab Kalam
Banyak sekali perselisihan atau perbedaan pendapat terkait Nahwu. Dan bahkan beberapa kitab membahas mengenai perselisihan nahwu seperti :
- Ikhtilafun Nahwiyyin karya Tsa’lab
- Al Masaail Ala Madzhabin Nahwiyyin karya Ibnu Kaisan
- Al-Muqni’ Fiy Ikhtilaafil Bashriyyin wal Kuufiyyin karya An Nahaas
- An-Nusroh Li Sibawaih ‘Alaa Jamaa’atin Nahwiyyin karya Ibnu Durustaweh
- Ikhtilaaf karya al Azdiy
- Ikhtilaaf Bainan Nahwiyyin karya Ar-Rummaaniy
- Kifaayatul Muta’allimiin Fiy Ikhtilaafin Nahwiyyin karya Ibnu Faaris
Namun permasalahan yang disepakati lebih banyak daripada yang diperselisihkan. Salah satunya mengenai Jenis kalimat. Ulama sepakat bahwa jenis kalimat dalam bahasa arab ada 3. Hal ini karena sudah ditetapkan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib dimana beliau berpesan kepada sahabatnya yaitu Abul Aswad Ad-Duwali dimana kata beliau, “Al Kalaamu Ismun, wa Fi’lun, wa Harfun umhu haadzan nahwa (kalam terdiri dari isim, fi’il dan huruf maka ikutilah kaidah ini)”
Maka dari itu para ulama setelah itu sepakat dan tentu dibarengi dengan penelitian (berdasarkan mereka bergaul dengan orang-orang badui, berdasarkan warisan turun temurun) ternyata memang hanya ada ditemukan 3 jenis kalam dalam bahasa arab.
Adapun yang menyebutkan bahwasannya disana ada jenis yang ke 4 sebagaimana yang disampaikan oleh Ja’far bin Shoobir beliau mengatakan bahwa ada jenis kalimat yang ke 4 yaitu Isim Fi’il maka hal ini tidak dianggap karena menyelisihi kesepakatan ulama
Dan para ulama yang mengatakan bahwa hal ini telah disepakati adalah al-Imaam az-Zajjaaji dimana beliau berkata, “Bahwasannya ulama nahwu bersepakat dalam hal kalaam bahwasannya ia terdiri dari Isim, fi’il dan harf”
Begitu juga dengan ucapan Ibnu Faris beliau pernah mengatakan dalam kitabnya Ash-Shohibi, “Para ulama sepakat bahwasannya kalam itu terbagi menjadi 3 yaitu Isim, Fi’il dan Harf”
10 Hal Yang Ulama Sepakati Dalam Bab Kalam
1. Asalnya Isim itu mu’rob. Didalam hal ini maka para ulama tidak berselisih. Artinya, mereka sepakat bahwasannya irob itu asalnya ialah isim karena isim itu yang mendominasi kalimat.
Kita lihat marfu’at : fa’il, khobar, mubtada’, naibul fa’il semuanya ini adalah isim, manshubat juga semuanya isim; maf’ul bih, maf’ul li ajlih, maf’ul muthlaq dan seterusnya semuanya isim, majrurot juga demikian.
Maka dari itu ulama bersepakat irob itu pada asalnya untuk isim, supaya membedakan diantara satu fungsi dengan fungsi lainnya di dalam kalimah. Nah ini fungsi irob. Supaya jelas.
Al-Imaam Az-Zajjaaji berkata didalam kitabnya al-Iidoh fiy alalin nahwi : “Ulama nahwu seluruhnya bersepakat bahwa asal irob adalah untuk isim”
Dan juga abbasasan mendukung ucapan dari imam azzajjaji dimana beliau berkata didalam kitabnya al wafiy, “Para ulama nahwu menetapkan pada asalnya isim itu adalah mu’rob”
2. Sebab mabniy isim karena kemiripannya dengan huruf. Dalam hal ini pun para ulama menyepakati sebab mabni nya suatu isim yakni karena kemiripannya dengan huruf.
Dimana dikatakan oleh al-Imaam as-Suyuuthi dimana beliau berkata didalam kitabnya al-Asybah wan Nazhooir, “Dimana cukup mabninya isim ini dikarenakan mirip huruf dari satu sisi berdasarkan kesepakatan para ulama”
3. Fi’il Mudhari’ Mu’rob apabila tidak bertemu Nun baik Nun Taukid maupun Nun al-Inaats
Ibnul Anbari berkata :
أَجَمَعَ الكُوْفِيُّوْنَ وَالبَصْرِيُّوْنَ عَلَى أَنَّ الأَفْعَالَ المُضَارِعَةَ مُعْرَبَةً، وَاخْتَلَفُوا فِي عِلَّةِ إِعْرَابِهَا
Kufiyyun dan Bashriyyun bersatu dalam hal fi’il mudhari’ mu’rob, akan tetapi mereka berselisih akan sebab i’robnya. [al-Inshof 6/446]
Karena menurut ulama kufah fi’il mudhari’ ini mu’rob karena memang asalnya fi’il itu semuanya mu’rob, sedangkan menurut ulama bashrah fi’il mudhari’ itu mu’rob karena dia mirip dengan isim fa’il.
Ibnu Hisyam berkata :
أَجْمَعَ النَّحْوِيُّوْنَ أَنَّ الفِعْلَ المُضَارِعَ إِذَا تَجَرَّدَ مِنَ النَّاصِبِ وَالجَازِمِ كَانَ مَرْفُوْعًا
Bahwasannya nahwiyyun bersepakat bahwasannya fi’il mudhari’ itu jika terbebas dari amil nashib ataupun amil yang menjazmkan maka semuanya marfu’ [Syarah Qotr Nada 57]
5. Fi’il Madhi mabniy seluruhnya
Ibnu Aqil mengatakan dalam Syarah Alfiyyah :
وَالمَبْنِيُّ مِنَ الأَفْعَالِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهَا، مَا اتَّفَقَ عَلَى بِنَائِهِ وَهْوَ المَاضِي
Fi’il yang mabni itu ada 2 salah satunya adalah disepakati oleh seluruh ulama (artinya yang satunya lagi tidak disepakati) [Syarah Alfiyyah 1/28]
Adapun fi’il mabni yang kedua dimana tidak disepakati oleh para ulama dimana ada yang mengatakan dia mu’rob dan ada yang mengatakan dia mabni yaitu adalah fi’il amr. Dimana ulama Kufah mengatakan fi’il amr majzum abadan yang disampaikan oleh Ibnu Ajurrum dan selain kufiyyun mengatakan bahwa fi’il amr ini mabni.
Ibnu Ummi Qosim mengatakan
أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ المَاضِيَ مَبْنِيٌ
Mereka bersepakat bahwa fi’il madhi itu mabni [Tawdih al-Maqoosid 1/59]
6. Semua huruf mabni tanpa terkecuali
Antum mengetahui bahwa setiap kaidah itu pasti memiliki pengecualian. Namun, ada kaidah yang tidak memiliki pengecualian, apa itu? Mabni nya huruf. Karena semua huruf itu mabni tanpa terkecuali.
Ibnul Anbari mengatakan :
وَلَا خِلَافَ بَيْنَ النَّحْوِيِّيْنَ أَنَّهُ لَا يُعْرَبُ مِنْهَا شَيْءٌ
Tidak ada perselisihan diantara ulama nahwu bahwa tidak ada satu pun yang mu’rob dari huruf [Al-Inshof 6/550]
Al-Asymuni pernah mengatakan :
كُلُّ حَرْفٍ مُسْتَحِقٌّ لِلْبِنَاءِ، الذِي بِهِ الإِجْمَاعُ
Semua huruf berhak mabni, dan yang mana kaidah ini telah disepakati seluruh ulama.
Karena memang huruf ini tidak memiliki fungsi dalam kalimat. Dia tidak bisa jadi musnad maupun musnad ilaih, tidak bisa jadi subjek, objek. predikat.
Maka dari itu keberadaan huruf dalam kalimat hanyalah sekedar tambahan. Dia tidak membutuhkan i’rob karena dia tidak punya fungsi.
7. Huruf tidak bermakna dengan sendirinya
al-Imaam al-Ukbari mengatakan :
الإِجْمَاعُ مُنْعَقِدٌ عَلَى أَنَّ مَعْنَى الحَرْفِ فِي غَيْرِهِ لَا فِي نَفْسِهِ
Ijma’ mencapai kata mufakat dalam hal makna huruf bersama dengan yang lainnya, tidak dengan sendirinya [At-Tabyayn 242]
Artinya huruf itu tidak bisa bermakna dengan sendirinya. Misalnya huruf مِنْ tidak bisa kita katakan maknanya ini dari kecuali dia bersambung dengan isim setelahnya. مِنَ المَسْجِدِ dimana artinya dari masjid.
Karena bisa saja مِنْ bermakna yang lain, misalnya مِنْ يَوْمِ الجُمعة bermakna فِي يَوْمِ الجُمعة.
As-Suyuthi berkata :
أَنَّ الحَرْفَ لَا يَدُلُّ عَلَى مَعْنًى فِي نَفْسِهِ هُوَ الذِي أَجْمَعَ عَلَيْهِ النُّحَاةُ
Bahwasannya huruf itu tidak menampakkan makna dengan sendirinya, nuhat menyepakati hal ini. [Ham’ul Hawami’ 1/26]
8. Isim yang paling ma’rifah
Dimana kita seringkali mendapati adanya khilaf diantara para ulama yang disebutkan dalam kitab-kitab mereka mengenai isim mana yang paling ma’rifah dari 3 isim ma’rifah. Yaitu dhomir, isim alam dan isim isyarah. Sebagian mengatakan bahwasannya dhomir lebih ma’rifah dari isim alam dan isim isyarah karena dhomir memiliki mutakallim yaitu orang pertama yang tidak dimiliki oleh isim alam maupun isim-isim ma’rifah lainnya. Ketika saya mengatakan أَنَا طَالِبٌ maka orang tidak akan keliru mendengarkan kalimat tersebut.
Sebagian lain mengatakan bahwa isim yang paling ma’rifah itu adalah isim alam, mengapa? karena ketika kita bertama kita mengetuk pintu kemudian pemilik rumah bertanya, siapa? kemudian saya mengatakan : ana. maka si pemilik rumah akan bertanya kembali. Siapa saya? kemudian kita mengatakan misalnya namanya zaid. Zaid. Baru pemilik rumah membukakan pintu menandakan bahwasannya dia lebih mengenal zaid daripada kata ana.
Ada lagi yang mengatakan bahwasannya yang paling ma’rifah itu adalah isim isyarah, kenapa? karena isim isyarah melibatkan hati dan mata. Ketika saya mengatakan هَذَا كِتَابٌ maka orang yang kita ajak bicara tidak hanya dia mengetahui dengan hatinya tapi juga melihat bendanya. Maka ada 2 hal yang membuat dia menjadi ma’rifah. Tentu ini lebih kuat daripada yang lainnya.
Akan tetapi meskipun mereka berselisih pendapat dalam 3 isim ma’rifah tersebut, mereka semua bersepakat bahwasannya ada yang lebih ma’rifah dari ketiga isim tersebut. Yaitu Isim Jalaalah Allah.
Sebagiamana yang disampaikan al-Imaam as-Suyuuthi beliau berkata :
وَمَحَلُّ الخِلَافِ فِي غَيْرِ اسْمِ اللَّهِ تَعَالَى، فَإِنَّهُ أَعْرَفُ المَعَارِفِ بِالإِجْمَاعِ
Tempat khilaf adalah pada selain nama Allah, karena Dia adalah isim ma’rifah yang paling ma’rifah berdasarkan ijma’ [Ham’ul Hawami’ 1/661]
Begitu juga ash-Shobban berkata :
الخِلَافُ فِي غَيْرِ اسْمِ اللَّهِ تَعَالَى فَهُوَ أَعْرَفُ المَعَارِفِ إِجْمَاعًا
Khilaf ada pada selain nama Allah ta’ala karena Dia adalah isim ma’rifah yang paling ma’rifah menurut ijma’.
9. Semua fi’il adalah nakirah
Mengapa fi’il itu dihukumi nakirah? karena fungsi fi’il dalam kalimat itu hanya ada satu yaitu sebagai musnad atau sebagai predikat.
Dan predikat itu mesti sesuatu hal yang belum diketahui oleh lawan bicara. Maka dari itu dia memberikan makna baru / informasi baru.
Az-Zajjaji berkata :
إِجْمَاعُ النَّحْوِيِّيْنَ كُلِّهِمْ مِنَ البَصْرِيِّيْنَ وَالكُوْفِيِّيْنَ عَلَى أَنَّ الأَفْعَالَ نَكِرَاتٌ
Nahwiyyun seluruhnya bersepakat bahwasannya fi’il itu semuanya nakirah [al-Idoh 119]
10. Bahwasannya kalam adalah jumlah mufidah
Kalam adalah tujuan utama dari dipelajarinya ilmu nahwu. Seringkali kita mendapati istilah kalam ini di satu kitab dengan kitab lainnya berbeda. Ada yang mengatakan kalam, ada yang mengatakan jumlah mufidah. Maka perlu diketahui bahwa semua istilah ini sama.
al-Ukbari pernah berkata :
الكَلَامُ عِبَارَةٌ عَنِ الجُمْلَةِ المُفِيْدَةِ فَائِدَةً تَامَّةً … إِذْ هُوَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Kalam adalah ungkapan untuk jumlah mufidah yang memberikan faidah yang sempurna, hal ini telah disepakati.