HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar
Kamus Hafalan Durusul Lughah Jilid 2

Perbedaan Makna Antara Rofa' dengan Nashob

perbedaan rofa dan nashob

Tulisan ini merupakan hasil terjemahan dari kitab Ma'aniy An Nahwi pada : Jasa Penerjemah

Jika anda mengatakan: “خَالِدًا أَكْرَمْتُهُ” (Khalid, saya memuliakannya (dengan Nashab)) dan “خَالِدٌ أَكْرَمْتُهُ” (Khalid, saya memuliakannya (dengan Rafa’)); maka apa perbedaan dari dua ungkapan ini?

Allah ta’ala berfirman :

﴿وَالْاَنْعَامَ خَلَقَهَاۗ لَكُمْ فِيْهَا دِفْءٌ﴾  

{dan hewan-hewan ternak, Dia yang menciptakannya. Padanya (hewan-hewan tersebut) terdapat kehangatan untuk kalian} [An-Nahl: 5] 

Di ayat ini dengan Nashab (yaitu kata وَالْاَنْعَامَ), dan Allah ta‘ala berfirman:

 ﴿وَالشُّعَرَاۤءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ ۗ﴾  

{dan para Penyair, mereka diikuti oleh orang-orang yang sesat} [Asy-Syu’ara: 224]

Di ayat ini dengan Rafa’ (yaitu kata  وَالشُّعَرَاۤءُ), kenapa berbeda? Dan dimana letak perbedaannya?

Sesungguhnya kalimat yang kita sebutkan sebelumnya terbilang shahih dari segi susunan kalimat Nahwu, baik itu dengan Rafa’ ataupun dengan Nashab. Akan tetapi apakah maknanya sama?

Sudah kita sebutkan pendapat para ulama Nahwu tentang hal ini, dan telah kita sebutkan juga bahwa mereka memiliki pertimbangan-pertimbangan yang tidak dilandaskan atas asas apapun, lalu apa hakikat perkara ini?

Sudah jelas bahwa yang dibicarakan di kalimat ini: "مُحَمَّدٌ أَكْرَمْتُهُ" (Muhammad, saya memuliakannya (dengan Rafa’)) adalah Muhammad. Adapun yang dibicarakan di kalimat ini: "مُحَمَّدًا أَكْرَمْتُهُ" (Muhammad, saya memuliakannya (dengan Nashab)) adalah pembicara. Begitu juga yang dibicarakan di kalimat ini: "زَيْدٌ سَلَّمْتُ عَلَيْهِ" (Zaid, saya memberi salam kepadanya (dengan Rafa’)) adalah pemberitahuan tentang Zaid. Adapun yang dibicarakan di kalimat ini: "زَيْدًا سَلَّمْتُ عَلَيْهِ" (Zaid, saya memberi salam kepadanya (dengan Nashab)) adalah pemberitahuan tentang pembicara.

Terdapat perkataan di kitab "الإيضاح في علل النحو" (penjelasan tentang hal-hal yang samar di ilmu nahwu): ((Abu Abbas berkata: perbedaan antara "ضَرَبْتُ زَيْدًا" (saya memukul Zaid) dengan "زَيْدٌ ضَرَبْتُهُ" (Zaid, saya memukulnya) adalah ketika anda mengatakan: "ضَرَبْتُ زَيْدًا" (saya memukul Zaid) maka anda mengabarkan tentang diri anda sendiri dan anda memastikan dimana terjadinya perbuatan tersebut. Akan tetapi jika anda mengatakan: "زَيْدٌ ضَرَبْتُهُ" (Zaid, saya memukulnya) maka anda mengabarkan tentang Zaid)).  Namun anda mendahulukan kata "زَيْدًا" di kalimat: "زَيْدًا ضَرَبْتُهُ" (Zaid, saya yang memukulnya) untuk menunjukkan hal yang diperhatikan dan dibicarakan, meskipun kalimat ini adalah pembicaraan yang tidak meningkat ke derajat ‘umdah (bukan perkataan tambahan).

Dengan kata lain, anda mengedepankan kalimat yang manshub dalam kondisi isytighal (kalimat yang memiliki lebih dari satu kedudukan nahwu) dengan tujuan untuk menjadi bahan pembicaraannya namun dengan derajat yang lebih rendah kepentingannya daripada mubtada`. Karena mubtada` adalah hal yang dibicarakan, dan pada asalnya topik pembicaraannya berputar pada hal tersebut. Berbeda dengan kalimat dalam kondisi isytighal (kalimat yang memiliki lebih dari satu kedudukan nahwu), karena dasar topik pembicaraannya berputar pada hal yang lain. Maka perbedaan antara kalimat "مُحَمَّدًا أَكْرَمْتُهُ" (Muhammad, saya memuliakannya (dengan Nashab)) dan kalimat "مُحَمَّدٌ أَكْرَمْتُهُ" (Muhammad, saya memuliakannya (dengan Rafa’)); adalah jika dengan Rafa’ anda menjadikan Muhammad sebagai topik pembicaraan, dan pemberitahuan anda tentang dia sebagai pokok perhatian. Adapun kalimat pertama (yaitu dengan Nashab), maka anda menjadikan Muhammad sebagai pokok perhatian, anda sebutkan lebih awal agar anda bisa berbicara tentangnya dengan derajat yang lebih rendah dari ‘umdah (bukan perkataan tambahan). Ini dikarenakan pemberitahuan disini tentang pembicara, tetapi konteksnya bisa menunjukkan bahwa anda mengkhususkan Muhammad menjadi bahan pembicaraan. Adapun kalimat "مُحَمَّدًا أَكْرَمْتُهُ" (Muhammad, saya memuliakannya (dengan Nashab)) maka kalimat ini menunjukkan kekhususan.

Dan semisalnya juga berlaku pada kalimat-kalimat ini:

"مُحَمَّدٌ سَلَّمْتُ عَلَيْهِ" (Muhammad, saya memberi salam kepadanya (dengan Rafa’))

" مُحَمَّدًا سَلَّمْتُ عَلَيْهِ" (Muhammad, saya memberi salam kepadanya (dengan Nashab))

Di kalimat pertama, yang dibicarakan adalah Muhammad. Dan anak kalimatnya (yaitu kalimat selanjutnya) merupakan pengabaran tentang dia. Adapun kalimat kedua, maka anda mengedepankan Muhammad untuk menjadikannya sebagai pokok perhatian dan anda menggunakan dhomir (kata ganti) di kata "عَلَيْهِ" untuk menunjukkan pengabaran tentangnya dengan susunan kalimat yang berbeda. Namun yang dibicarakan adalah yang berbicara.

Sesungguhnya kalimat dalam kondisi isytighal (kalimat yang memiliki lebih dari satu kedudukan nahwu) itu memiliki bentuk yang serupa dengan mubtada`,  jika dilihat dari segi siapa yang dibicarakan. Oleh karena itu ia membutuhkan dhamir (kata ganti) yang menghubungkannya dengan ism (kata benda) yang pertama di kalimat kedua. Seperti halnya mubtada` yang membutuhkan penghubung yang menghubungkan antaranya dengan kalimat khabar agar topik pembicaraannya menjadi lurus. Akan tetapi beda di antara keduanya adalah topik pembicaraan dalam kalimat mubtada` dan khabar merupakan mubtada` itu sendiri. Sedangkan topik pembicaraan dalam kalimat isytighal  berputar pada dua hal, baik itu perkara fondasinya yang mana itu adalah musnad ilayh (kalimat yang dinisbatkan kata kerja kepadanya) atau perkara dibawahnya yang mana itu adalah kalimat yang manshub yang dimajukan.

Dengan begitu, kita bisa mengatakan bahwa: sesungguhnya isytighal merupakan suatu fase di bawah mubtada` dan di atas maf’ul. Karena isytighal adalah topik pembicaraan dari satu sisi namun tidak meningkat ke derajat mubtada`. Dengan dasar ini, maksud dari isytighal adalah adanya kalimat pertama yang manshub untuk menjadi bahan pembicaraan, namun masuk ke dalam kondisi isytighal dikarenakan pembicaraan tentang musnad ilayh. Jadi isytighal ini merupakan salah satu uslub (gaya bahasa) dalam bentuk kalimat mubtada` dan khabar.

Berikut adalah contoh yang menjelaskan perbedaan kalimat dalam kondisi isytighal dan mubtada`:

Sesungguhnya mubtada` -sebagaimana yang telah kita sebutkan- yaitu topik pembicaraan. Adapun di bab isytighal, maka musnad ilayh disini ialah yang menjadi topik pembicaraan. Kalimat dalam kondisi isytighal ini dikedepankan untuk menjadi bahan pembicaraan serta berbentuk yang berbeda dengan kalimat mubtada`. Misalnya, jika anda mengatakan:

"الظَّالِمُ يَكْرَهُهُ النَّاسُ وَيَحْتَقِرُونَهُ فِي أَنْفُسِهِمْ، ثَقِيلٌ عَلَيْهِمْ مُبْغَضٌ إِلَى قُلُوبِهِمْ، أَمَّا الْعَادِلُ فَإِنَّ النَّاسَ يُحِبُّونَهُ وَيَحْتَرِمُونَهُ" (Orang yang zhalim, masyarakat tidak menyukainya dan menghinakannya dalam diri mereka, juga memberatkan mereka serta dibeci di dalam hati mereka. Adapun orang yang adil, masyarakat menyukainya dan menghormatinya) maka anda perhatikan bahwa pembicaraannya terpusat pada orang yang zhalim, oleh karena itu anda menjadikannya marfu’.

Dan jika anda mengatakan:

"أَلَا تَرَى إِلَى رَبِّكَ وَعِقَابِهِ، وَأَنَّهُ إِذَا أَمْهَلَ فَإِنَّهُ لَا يُهْمِلُ، عَاقَبَ الْكَافِرَ، وَالظَّالِمَ أَهْلَكَهُ، وَالْمُسْتَعْبِدَ أَذَلَّهُ وَقَهَرَهُ، وَالْبَاطِلَ أَزَالَهُ" (apakah engkau tidak melihat Tuhanmu dan hukumannya? Dan bagaimana Ia jika menunda hingga saatnya maka Ia tidak akan membiarkannya? Dia menghukum orang yang kafir. Orang yang zhalim, Dia membinasakannya. Orang yang meminta disembah, Dia hinakan dan hancurkan. Perkara yang batil, Dia musnahkan.) maka topik pembicaraan ini berputar pada Allah -subhanahu wa ta’ala-. Dan kata-kata yang dimajukan ini dimaksudkan untuk pokok perhatian, oleh karena itu kata "الظَّالِمَ", "الْمُسْتَعْبِدَ", dan "الْبَاطِلَ" dijadikan manshub, inilah maksud dari perkataan tadi. Dan jika kita lihat di ayat-ayat Qur`an, maka kita akan menemukan penguat hal ini:

Allah -ta’ala- berfirman:
 ﴿وَالْاَرْضَ مَدَدْنٰهَا وَاَلْقَيْنَا فِيْهَا رَوَاسِيَ﴾ 
{dan Bumi, Kami telah menghamparkannya dan kami pancangkan di atasnya gunung-gunung yang kokoh} dengan Nashab (pada kata وَالْاَرْضَ). Kalau kita kembali ke konteks ayatnya, maka sebab Nashabnya akan jelas. Inilah konteksnya:

 ﴿وَلَقَدْ جَعَلْنَا فِى السَّمَاۤءِ بُرُوْجًا وَّزَيَّنّٰهَا لِلنّٰظِرِيْنَۙ ١٦ وَحَفِظْنٰهَا مِنْ كُلِّ شَيْطٰنٍ رَّجِيْمٍۙ ١٧ اِلَّا مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَاَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُّبِيْنٌ ١٨ وَالْاَرْضَ مَدَدْنٰهَا وَاَلْقَيْنَا فِيْهَا رَوَاسِيَ وَاَنْۢبَتْنَا فِيْهَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَّوْزُوْنٍ ١٩ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيْهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَّسْتُمْ لَهُ بِرٰزِقِيْنَ ٢٠﴾ 

{Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan gugusan bintang di langit dan menjadikannya terasa indah bagi orang-orang yang memandang (langit itu). Kami menjaganya dari setiap setan yang terkutuk, kecuali (setan) yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) maka dia dikejar oleh bintang-bintang (berapi) yang terang. Dan bumi, Kami telah menghamparkannya, memancangkan di atasnya gunung-gunung yang kokoh, dan menumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran(-nya). Kami telah menjadikan di sana sumber-sumber kehidupan untukmu dan (menjadikan pula) makhluk hidup yang bukan kamu pemberi rezekinya.} [Al-Hijr:16-20]

Dengan begitu, firman tersebut berbicara tentang Allah yang menciptakan gugusan bintang dan menghiasinya, menghamparkan bumi, memancangkan gunung-gunung kokoh di atasnya, menumbuhkan segala sesuatu di dalamnya, serta menjadikan di sana sumber-sumber kehidupan.

Maka firman tersebut -sebagaimana yang anda lihat- berbicara tentang Allah -ta’ala- dan bukan tentang bumi. Akan tetapi kata bumi disini dikedepankan untuk menunjukkan pokok perhatiannya, dan untuk menjadi pokok pembahasan lebih dari yang lainnya, oleh karena itu Allah berfirman :

 ﴿وَالْاَرْضَ مَدَدْنٰهَا ...﴾ 

dst. Meskipun firman Allah disini pada asalnya berputar topiknya tentang Allah dan kemahakuasaannya, kata bumi disini dikhususkan dan lebih diperhatikan sehingga disebutkan terlebih dahulu. Topik pembicaraan dalam ayat ini, baik sebelum maupun setelahnya, masih berbicara tentang Allah -ta’ala-. Jika kata "وَالْاَرْضَ" (bumi) dijadikan marfu’, maka topik pembicaraan akan berputar pada bumi dan kata kerja yang dinisbatkan kepadanya, dan konteksnya juga akan berbeda.

Berikut adalah contoh lain yang menjelaskan hal ini, Allah berfirman ﴿وَالْجَاۤنَّ خَلَقْنٰهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَّارِ السَّمُوْمِ ٢٧﴾  {Dan jin, Kami ciptakan sebelumnya dari api yang sangat panas} [Al-Hijr: 27]. Yang menggunakan bentuk manshub. Mengapa tidak menggunakan bentuk marfu’? Konteks ayat ini menjelaskan hal itu.
Sesungguhnya firman tersebut berbicara tentang Allah -ta’ala-, dan hal ini ada pada konteks ayat-ayat yang telah disebutkan sebelumnya. Allah -ta’ala- berfirman:

﴿وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍۚ ٢٦ وَالْجَاۤنَّ خَلَقْنٰهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَّارِ السَّمُوْمِ ٢٧ وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنْ صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍۚ ٢٨ فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ ٢٩ فَسَجَدَ الْمَلٰۤىِٕكَةُ كُلُّهُمْ اَجْمَعُوْنَۙ ٣٠ اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰىٓ اَنْ يَّكُوْنَ مَعَ السّٰجِدِيْنَ ٣١ قَالَ يٰٓاِبْلِيْسُ مَا لَكَ اَلَّا تَكُوْنَ مَعَ السّٰجِدِيْنَ ٣٢ قَالَ لَمْ اَكُنْ لِّاَسْجُدَ لِبَشَرٍ خَلَقْتَهٗ مِنْ صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍ ٣٣ قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَاِنَّكَ رَجِيْمٌۙ ٣٤ وَّاِنَّ عَلَيْكَ اللَّعْنَةَ اِلٰى يَوْمِ الدِّيْنِ ٣٥ قَالَ رَبِّ فَاَنْظِرْنِيْٓ اِلٰى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ ٣٦ قَالَ فَاِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِيْنَۙ ٣٧ اِلٰى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُوْمِ ٣٨ قَالَ رَبِّ بِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ وَلَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ ٣٩ اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ ٤٠ قَالَ هٰذَا صِرَاطٌ عَلَيَّ مُسْتَقِيْمٌ ٤١ اِنَّ عِبَادِيْ لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطٰنٌ اِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِيْنَ ٤٢﴾

{Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan jin, Kami ciptakan sebelumnya dari api yang sangat panas. (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan bentuknya dan Aku tiupkan kepadanya roh-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud." Maka seluruh malaikat bersujud kepada Adam. Kecuali Iblis, ia enggan untuk ikut bersama mereka yang bersujud. Allah berfirman, "Wahai Iblis, mengapa kamu tidak (sujud) bersama malaikat yang bersujud? Iblis menjawab, "Aku sekali-kali tidak akan bersujud kepada manusia yang Engkau ciptakan dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk." Allah berfirman, "Maka keluarlah dari surga, sesungguhnya kamu adalah makhluk yang terkutuk. Dan sesungguhnya laknat-Ku menimpamu sampai hari kiamat." Iblis berkata, "Ya Tuhanku, maka tunda aku sampai hari mereka dibangkitkan." Allah berfirman, "Sesungguhnya kamu termasuk yang ditunda." (yaitu) sampai waktu yang telah ditentukan. Iblis berkata, "Ya Tuhan, karena Engkau telah menyesatkanku, pasti akan aku hiasi (segala bentuk kejahatan) untuk mereka di bumi, dan pasti akan aku menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang yang terpilih (karena keikhlasannya) di antara mereka." Allah berfirman, "Ini adalah jalan yang lurus, yang Aku jamin (ditunjukkan kepada hamba-hamba-Ku). Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu (Iblis) tidak kuasa atas mereka kecuali yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang sesat."} [Al-Hijr: 26-42]

Firman ini berbicara mengenai Allah -ta’ala- dan makhluk-Nya, tetapi Dia ingin memisahkan jin dengan pembicaraan khusus, maka Dia menyebutkannya terlebih dahulu dan mengulang kata ganti kepada-Nya kembali untuk memfokuskan pembicaraan tentang-Nya. Anda mungkin bertanya, "Mengapa tidak didahulukan pembicaraan tentang manusia, padahal manusia juga disebutkan?" Jawabannya adalah meskipun manusia disebutkan, inti pembicaraan dalam ayat-ayat ini adalah tentang jin, khususnya pembicaraan tentang Iblis dan perdebatannya dengan Tuhannya.
Anda dapat melihat bahwa Dia menyebutkan bumi terlebih dahulu dalam ayat pertama karena pembicaraan mengenai bumi lebih penting. Dan Dia menyebutkan jin terlebih dahulu karena tujuan pembicaraannya lebih berkaitan jika jin disebutkan.

Contoh lain adalah firman Allah -ta’ala-:

 ﴿وَالْاَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيْهَا دِفْءٌ وَّمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُوْنَ﴾  

{dan hewan-hewan ternak, Dia yang menciptakannya. Padanya (hewan-hewan tersebut) terdapat kehangatan untuk kalian, berbagai manfaat, dan darinya kalian makan} [An-Nahl: 5]. 

Dalam ayat ini, Allah menggunakan kata "الأنعام" (hewan ternak) dalam bentuk manshub dan bukan dengan marfu’, dan konteks menjelaskan alasan di balik hal ini.

 ﴿خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّۗ تَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ ٣ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ نُّطْفَةٍ فَاِذَا هُوَ خَصِيْمٌ مُّبِيْنٌ ٤ وَالْاَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيْهَا دِفْءٌ وَّمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُوْنَ ٥ وَلَكُمْ فِيْهَا جَمَالٌ حِيْنَ تُرِيْحُوْنَ وَحِيْنَ تَسْرَحُوْنَۖ ٦ وَتَحْمِلُ اَثْقَالَكُمْ اِلٰى بَلَدٍ لَّمْ تَكُوْنُوْا بٰلِغِيْهِ اِلَّا بِشِقِّ الْاَنْفُسِۗ اِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌۙ ٧ وَّالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيْرَ لِتَرْكَبُوْهَا وَزِيْنَةًۗ وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ٨﴾ 

{Dia menciptakan langit dan bumi dengan hak. Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. Dia telah menciptakan manusia dari setetes air mani, lalu tiba-tiba dia menjadi pembantah yang nyata. Dan hewan-hewan ternak, Dia yang menciptakannya. Padanya (hewan-hewan tersebut) terdapat kehangatan dan berbagai manfaat untuk kalian serta sebagian (daging) darinya. Dan untuk kalian keindahan padanya ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika melepaskannya (ke tempat penggembalaan). Dan kalian mengangkut barang (dengan hewan-hewan tersebut) ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui} [An-Nahl: 3-8]. 

Jika anda lihat, pembicaraan utama adalah tentang Allah -ta’ala-, namun Dia mendahulukan pembicaraan tentang hewan ternak untuk menunjukkan perhatian khusus dalam ayat-ayat ini. Meskipun disebutkan penciptaan langit, bumi, manusia, hewan ternak, kuda, bagal, dan keledai; pembicaraan lebih banyak difokuskan pada hewan ternak, sehingga pembicaraan tentangnya didahulukan untuk menunjukkan perhatian lebih dalam konteks ini.

Allah -ta’ala- berfirman:

 ﴿وَكُلَّ اِنْسَانٍ اَلْزَمْنٰهُ طٰۤىِٕرَهٗ فِيْ عُنُقِهٖ﴾  

{Setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya.} [Al-Isra`: 13], Pada ayat ini, kata "كُلّ" (setiap) dalam bentuk manshub bukan marfu’. Hal ini karena pembicaraan lebih berfokus pada Allah, dan " وَكُلَّ اِنْسَانٍ" (setiap manusia) didahulukan untuk menunjukkan perhatian khusus pada mereka. Konteks ayat-ayat ini menjelaskan hal tersebut:

 ﴿وَجَعَلْنَا الَّيْلَ وَالنَّهَارَ اٰيَتَيْنِ فَمَحَوْنَآ اٰيَةَ الَّيْلِ وَجَعَلْنَآ اٰيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِّتَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنٰهُ تَفْصِيْلًا ١٢ وَكُلَّ اِنْسَانٍ اَلْزَمْنٰهُ طٰۤىِٕرَهٗ فِيْ عُنُقِهٖۗ وَنُخْرِجُ لَهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ كِتٰبًا يَّلْقٰىهُ مَنْشُوْرًا ١٣﴾  

{Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran Kami). Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang benderang agar kalian (dapat) mencari karunia dari Tuhan kalian dan agar kalian mengetahui bilangan tahun serta perhitungan (waktu). Segala sesuatu telah Kami terangkan secara terperinci. Setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya. Dan Kami keluarkan baginya, pada hari Kiamat kelak, sebuah kitab yang dia terima dalam keadaan terbuka.} [Al-Isra`:12-13].

Sementara itu Allah -ta’ala- berfirman:

 ﴿اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖوَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ٢ اَلزَّانِيْ لَا يَنْكِحُ اِلَّا زَانِيَةً اَوْ مُشْرِكَةً ۖوَّالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَآ اِلَّا زَانٍ اَوْ مُشْرِكٌ ۚوَحُرِّمَ ذٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ ٣﴾  

{Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin. Pezina laki-laki tidak pantas menikah, kecuali dengan pezina perempuan atau dengan perempuan musyrik dan pezina perempuan tidak pantas menikah, kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik. Yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.} [An-Nur: 2-3].

Pada ayat ini, kata "اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ" (pezina perempuan dan lelaki) dalam bentuk marfu’ karena pembicaraan berfokus pada keduanya.

Dan contoh serupa seperti firman Allah -ta’ala-:

 ﴿وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ٣٨﴾  

{Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.} [Al-Maidah: 38]; karena firman ini berbicara tentang mereka berdua.

Allah -ta’ala- berfirman:

 ﴿وَالشُّعَرَاۤءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوٗنَ ۗ﴾ 

{dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat} [Asy-Syu’ara: 224]. 

Pada ayat ini, kata "الشُّعَرَاء" (para penyair) digunakan dalam bentuk marfu’ karena pembicaraan berfokus pada mereka. Jika kata "الشُّعَرَاء" dalam bentuk manshub, maka pembicaraan akan lebih berfokus pada orang-orang yang sesat, dan konteks ayat-ayat selanjutnya menjelaskan hal tersebut. Allah -ta’ala- berfirman:

 ﴿وَالشُّعَرَاۤءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوٗنَ ۗ ٢٢٤ اَلَمْ تَرَ اَنَّهُمْ فِيْ كُلِّ وَادٍ يَّهِيْمُوْنَ ۙ ٢٢٥ وَاَنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ مَا لَا يَفْعَلُوْنَ ۙ ٢٢٦ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ ٢٢٧﴾  

{Para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Apakah engkau melihat bahwa mereka di setiap lembah mengembara. Dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(-nya)? Kecuali (para penyair) yang beriman, beramal saleh} [Asy-Syu’ara: 224-227].

Allah -ta’ala- berfirman:

﴿وَالسَّمَاۤءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ ٧﴾  

{Langit telah Dia tinggikan dan Dia telah menciptakan timbangan} [Ar-Rahman: 7]. Pada ayat ini, kata "السَّمَاء" (langit) dalam bentuk manshub karena pembicaraan berfokus pada Allah -ta’ala-. Oleh karena itu Allah memulai surat ini dengan ayat-ayat berikut:

﴿اَلرَّحْمٰنُۙ ١ عَلَّمَ الْقُرْاٰنَۗ ٢ خَلَقَ الْاِنْسَانَۙ ٣ عَلَّمَهُ الْبَيَانَ ٤ اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ ٥ وَّالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ ٦ وَالسَّمَاۤءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ ٧ اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ ٨ وَاَقِيْمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ ٩ وَالْاَرْضَ وَضَعَهَا لِلْاَنَامِۙ ١٠ فِيْهَا فَاكِهَةٌ وَّالنَّخْلُ ذَاتُ الْاَكْمَامِۖ ١١ وَالْحَبُّ ذُو الْعَصْفِ وَالرَّيْحَانُۚ ١٢﴾  

{(Allah) Yang Maha Pengasih, telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia. Dia mengajarinya penjelasan. Matahari dan bulan (beredar) sesuai dengan perhitungan. Dan Tetumbuhan dan pepohonan tunduk (kepada-Nya). Dan Langit telah Dia tinggikan dan Dia telah menciptakan timbangan (keadilan dan keseimbangan), agar kamu tidak melampaui batas dalam timbangan itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan itu. Dan bumi telah Dia bentangkan untuk makhluk(-Nya). Padanya terdapat buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang, biji-bijian yang berkulit, dan bunga-bunga yang harum baunya} [Ar-Rahman: 1-12].

Di sini, topik utamanya adalah tentang Allah Yang Maha Pengasih dan Pencipta, bukan tentang langit dan bumi. Namun, langit dan bumi disebutkan lebih awal untuk menunjukkan perhatian terhadap keduanya.

Allah -ta’ala- berfirman:

﴿وَالظّٰلِمِيْنَ اَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا ࣖ ٣١﴾  

{dan orang-orang zalim, Dia telah sediakan untuk mereka azab yang pedih}. Pada ayat ini, kata "الظَّالِمِينَ" (orang-orang zalim) dalam bentuk manshub karena pembicaraan berfokus pada Allah -ta’ala-, Yang Maha Membalas amal perbuatan, baik amal baik maupun buruk. Allah -ta’ala- berfirman:

﴿اِنَّ هٰٓؤُلَاۤءِ يُحِبُّوْنَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُوْنَ وَرَاۤءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيْلًا ٢٧ نَحْنُ خَلَقْنٰهُمْ وَشَدَدْنَآ اَسْرَهُمْۚ وَاِذَا شِئْنَا بَدَّلْنَآ اَمْثَالَهُمْ تَبْدِيْلًا ٢٨ اِنَّ هٰذِهٖ تَذْكِرَةٌ ۚ فَمَنْ شَاۤءَ اتَّخَذَ اِلٰى رَبِّهٖ سَبِيْلًا ٢٩ وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًاۖ ٣٠ يُّدْخِلُ مَنْ يَّشَاۤءُ فِيْ رَحْمَتِهٖۗ وَالظّٰلِمِيْنَ اَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا ࣖ ٣١﴾  

{Sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) itu mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan di belakang mereka hari yang berat (akhirat). Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka. Jika berkehendak, Kami dapat mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa mereka. Sesungguhnya ini adalah peringatan. Maka, siapa yang menghendaki (kebaikan bagi dirinya) tentu mengambil jalan menuju Tuhannya. Dan kalian tidak menghendaki (sesuatu) kecuali apabila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dia memasukkan siapa pun yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya (surga). Dan orang-orang zalim, Dia telah sediakan untuk mereka azab yang pedih} [Al-Insan: 27-31].

Allah -ta’ala- berfirman:

﴿وَالْاَرْضَ بَعْدَ ذٰلِكَ دَحٰىهَاۗ ٣٠﴾  

{Dan bumi, setelah itu Dia hamparkan (untuk dihuni)} dengan bentuk manshub karena pembicaraan ini tentang Allah -ta’ala-, Allah -ta’ala- berfirman:

 ﴿ءَاَنْتُمْ اَشَدُّ خَلْقًا اَمِ السَّمَاۤءُ ۚ بَنٰىهَاۗ ٢٧ رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوّٰىهَاۙ ٢٨ وَاَغْطَشَ لَيْلَهَا وَاَخْرَجَ ضُحٰىهَاۖ ٢٩ وَالْاَرْضَ بَعْدَ ذٰلِكَ دَحٰىهَاۗ ٣٠ اَخْرَجَ مِنْهَا مَاۤءَهَا وَمَرْعٰىهَاۖ ٣١ وَالْجِبَالَ اَرْسٰىهَاۙ ٣٢ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِاَنْعَامِكُمْۗ ٣٣﴾  

{Apakah penciptaan kalian yang lebih hebat ataukah langit yang telah dibangun-Nya? Dia telah meninggikan bangunannya, lalu menyempurnakannya. Dan Dia menjadikan malamnya (gelap gulita) dan menjadikan siangnya (terang benderang). Dan bumi, setelah itu Dia hamparkan (untuk dihuni). Dia mengeluarkan air darinya (bumi) dan (menyediakan) tempat penggembalaan. Dan gunung-gunung, Dia pancangkan dengan kukuh. (Semua itu disediakan) untuk kesenanganmu dan hewan ternakmu} [An-Nazi’at: 27-33].

Maka, pembicaraan ini mengenai Allah dan nikmat-Nya, yaitu penciptaan langit, pemhamparan bumi, pengeluaran air dan padang rumput, serta peneguhan gunung-gunung.

Saya rasa sudah jelas perbedaan antara kalimat dalam kondisi isytighal dan kalimat mubtada`, yang tidak ada keraguan padanya.

2 – Isim dijadikan dalam keadaan manshub jika dikhawatirkan akan terjadi kebingungan apabila dalam keadaan marfu’  sehingga fi’il menjadi mirip seperti sifat, sebagaimana dalam firman Allah-ta’ala-: ﴿اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ﴾  {Sesungguhnya segala sesuatu telah Kami ciptakan sesuai dengan ukuran} [Al-Qamar: 49].

As-Sirafi (seorang ulama dalam ilmu bahasa Arab) mengatakan yang ringkasannya adalah:

((Jika seseorang bertanya, "Kalian mengatakan bahwa kalimat "إِنِّي زَيْدٌ كَلَّمْتُهُ" (sesungguhnya saya, zaid, telah berbicara dengannya) seharusnya dalam bentuk marfu’ karena kalimat tersebut berfungsi sebagai khabar, lalu mengapa dalam ayat ﴿اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ﴾ {Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran} justru dipilih nashab? Padahal ayat Allah -ta’ala- lebih utama untuk pilihan kalian?

Maka jawabannya adalah bahwa bentuk nashab di sini menunjukkan makna yang tidak ada dalam bentuk rafa’. Jika diperkirakan dengan nashab, maka artinya adalah: "Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu, kami menciptakannya dengan ukuran", yang mengandung makna umum. Namun, jika dalam bentuk rafa’, maka maknanya tidak menunjukkan keumuman. Sebab, bisa jadi "خَلَقْنٰهُ" itu adalah sifat dari sesuatu, dan "بِقَدَرٍ" adalah khabar bagi "كُلَّ". Dan dengan begitu, maknanya tidak menunjukkan bahwa semua yang diciptakan itu diciptakan dengan ukuran, melainkan bahwa sebagian dari apa yang diciptakan itu diciptakan dengan ukuran)) .

Untuk menjelaskan hal ini, perlu diketahui bahwa jika kata "كُلَّ" dijadikan dalam bentuk marfu’, maka ini menunjukkan dua makna: bisa jadi kata "خَلَقْنٰهُ" adalah khabar dari kata "كُلَّ" sehingga makna dari ayatnya adalah: “sesungguhnya Kami telah menciptakannya, segala sesuatu dengan ukurannya”. Dan bisa jadi juga kata "خَلَقْنٰهُ" merupakan sifat dari kata "كُلَّ", dan khabar dari kalimat tersebut adalah "بِقَدَرٍ" sehingga maknanya adalah “segala sesuatu adalah makhluk milik Kami yang diciptakan dengan ukurannya”. Kesimpulan dari hal tersebut ialah ada pencipta yang memiliki kekuatan selain Allah -subhanahu wa ta’ala-. Maka apapun yang Allah ciptakan, Allah ciptakan dengan ukurannya, dan apa yang diciptakan selainnya bisa jadi tidak diciptakan dengan ukurannya. Maha Suci Allah dari anggapan seperti itu.

Contoh serupa jika kita katakan: "كُلَّ رَجُلٍ أَكْرَمْتُهُ هُنَا" (Setiap pria yang aku muliakan ada disini). Jika "كُلَّ" dijadikan manshub, maka maknanya adalah "Aku telah memuliakan setiap pria di sini." Sedangkan jika "كُلُّ" dijadikan marfu’, maka ada dua makna; makna pertama, bisa seperti makna yang manshub, dan khabar darinya ialah "كُلُّ رَجُلٍ", atau maknanya adalah "setiap pria yang dimuliakan olehku di sini". Maka khabar dari kalimat tersebut adalah "هُنَا" dan "أَكْرَمْتُهُ" menjadi sifat, yakni menunjukkan bahwa ada pria lain di tempat tersebut yang tidak aku muliakan, tetapi setiap orang yang aku muliakan ada di sini.
Kata al-Radhi: ))Jika Anda ingin memberitahukan bahwa setiap satu dari hamba-hamba sahaya Anda, Anda beli dengan harga dua puluh dinar. Dan Anda tidak memiliki seorang pun di antara mereka kecuali dengan cara membeli mereka dengan patungan dengan harga tersebut, maka jika Anda berkata: "كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ مَمَالِيكِي اِشْتَرَيْتُهُ بِعِشْرِينَ دِينَارًا" (Setiap satu dari hamba sahaya saya, saya beli dengan dua puluh dinar) dengan menashabkan "كُلَّ" maka itu adalah bukti jelas dalam arti yang dimaksud, karena takdirnya adalah: saya membeli setiap satu dari hamba sahaya saya dengan dua puluh.

Adapun jika Anda merafa’kan "كُلُّ", maka ada kemungkinan kata (اِشْتَرَيْتُهُ) menjadi khabar "كُلُّ", dan kata "بِعِشْرِينَ" berkaitan dengan kata tersebut, yaitu setiap satu dari mereka dibeli dengan dua puluh. Ini adalah makna yang dimaksud. Dan ada kemungkinan kata "اِشْتَرَيْتُهُ" menjadi sifat bagi "كُلُّ وَاحِدٍ", dan kata (بِعِشْرِينَ) menjadi khabar, yang berarti setiap orang yang saya beli dari hamba sahaya adalah dengan harga dua puluh dinar.

Maka, pada takdir pertama, mubtada` lebih umum, karena jika Anda mengatakan: "كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ مَمَالِيكِي" (Setiap satu dari hamba sahaya saya), maka ini mencakup orang yang saya beli, orang yang dibeli untuk anda, dan orang yang anda miliki dari cara selain pembelian. Sedangkan pada takdir kedua, mubtada` hanya berlaku untuk orang yang saya beli sendiri.

Oleh karena itu, merafa’kan "كُلُّ" mengarah pada kemungkinan makna kedua yang bukan yang dimaksud dan bertentangan dengan makna pertama. Karena bisa jadi mengarah ke makna yang kedua, dimana ada orang yang membeli hamba sahaya untuk anda dengan harga dua puluh atau lebih sedikit atau lebih banyak. Atau bisa juga ada beberapa yang ada miliki melalui pemberian atau warisan atau cara lainnya. Dan semua ini bertentangan dengan apa yang Anda maksudkan. Oleh karena itu, bentuk nashab lebih tepat karena itu adalah bukti yang jelas dalam arti yang dimaksud, sedangkan Rafa’ masih mengandung kemungkinan untuk makna tersebut dan juga makna lainnya)) .

Maka, hal ini tergantung pada makna. Jika Anda ingin menegaskan bahwa tindakan tersebut bukan merupakan sifat, maka Anda menashabkan kata yang didahulukan tadi. Jika Anda ingin memberikan kemungkinan, maka Anda merafa’kannya. Begitu juga, jika Anda ingin menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan sifat, maka Anda merafa’kan kata tadi. Seperti firman Allah -ta’ala-:

 ﴿وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ﴾ 

[Al-Qamar: 52]. 

Dalam kitab Ma’ani Al-Qur`an (Kandungan makna dalam Al-Qur`an) oleh al-Farra' beliau berkata: ((Adapun firman-Nya:

 ﴿وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ﴾ 

tidak bisa selain dengan Rafa’, karena maknanya -wallahu a’lam- adalah bahwa setiap perbuatan mereka itu tercatat dalam zubur, maka ia marfu’ dengan huruf "فِي" , dan kata "فَعَلُوهُ" (mereka perbuat) adalah kata yang menghubungkan dengan kata "شَيْءٍ" (sesuatu). Jika kata "فِى" adalah penghubung untuk kata "فَعَلُوهُ" untuk contoh ini, maka bisa saja kata "كُلُّ" dirafa’ atau dinashabkan. Seperti ketika Anda berkata: "وَكُلُّ رَجُلٍ ضَرَبُوهُ فِي الدَّارِ" (dan setiap lelaki, mereka memukulnya di dalam rumah), jika Anda ingin mengatakan: (Mereka memukul setiap lelaki di dalam rumah), maka Anda bisa merafa’kan atau menashabkannya, dan jika Anda ingin mengatakan: (Setiap orang yang mereka pukul adalah di dalam rumah), maka Anda merafa’kannya)) .

Penjelasan dari hal ini adalah bahwa maknanya tidak ada ketika kondisi nashab, karena jika dengan nashab, maka maknanya menjadi: (Mereka melakukan segala sesuatu dalam zubur), dan makna ini tidak sesuai dengan yang dimaksud. Yang dimaksudkan adalah bahwa apa yang mereka lakukan tercatat dalam zubur, jadi kata "فَعَلُوهُ" (mereka kerjakan) adalah sifat bagi kata "شَيْءٍ" (sesuatu), dan kata " (dalam zubur) adalah khabar. Maknanya adalah sesuatu yang mereka mereka perbuat itu tercatat dalam zubur. Dan jika kalimat dalam kondisi nashab, tidak bisa menyampaikan makna ini.

Bagian ini menurut para ahli nahwu adalah bagian yang diutamakan nashab daripada rafa’ , namun yang benar adalah bagian ini bukanlah yang lebih diutamakan nashab, melainkan sesuai dengan maksudnya. Jika Anda ingin menegaskan bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan sifat, maka nashab harus digunakan, seperti yang telah dibahas dalam firman Allah -ta’ala-:

 ﴿اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ﴾ 

{Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran}, dan contoh-contoh lainnya. Jika Anda ingin menegaskan bahwa perbuatan itu adalah sifat, maka rafa’ harus digunakan. Begitu juga, jika Anda ingin memberi kemungkinan kedua makna, ini bukanlah soal pilihan bebas, melainkan harus dipilih berdasarkan makna yang dimaksud sebagaimana yang telah saya jelaskan.

3 – Beberapa ahli nahwu berkata bahwa rafa’ lebih dipilih ketika kata tersebut mengarah kepada umum, seperti dalam ayat:

 ﴿الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ﴾ 

[An-Nur: 2], dan

 ﴿وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا﴾ 

[Al-Maidah: 38].

Ini karena ada kesamaan dalam syaratnya ketika konteks umum ataupun abstrak. Sedangkan nashab dipilih ketika kata tersebut lebih dikhususkan dalam suatu perintah, seperti dalam contoh: "زَيْدًا اضْرِبْهُ" (zaid, pukullah dia) karena ketidaksamaannya dalam syaratnya .

Dalam kitab Ma'ani al-Quran oleh al-Farra' disebutkan:

 ((﴿وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا﴾ 

keduanya dirafa’kan karena kembali kepada penyebutan mereka, dan penggunaan nashab di sini dibolehkan. Sebagaimana juga bisa dikatakan: (أَزَيْدٌ ضَرَبْتُهُ) atau (أَزَيْدًا ضَرَبْتُهُ), namun orang Arab lebih memilih rafa’ pada ﴿وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ﴾ karena keduanya tidak terikat waktu, seolah-olah itu adalah syarat untuk tindakan hukuman. 

Seperti berkata: "مَنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوا يَدَهُ", di mana kata "مَنْ" hanya bisa dalam posisi rafa’. Namun, jika Anda ingin menunjuk seorang pencuri tertentu atau pencuri perempuan tertentu, maka nashab bisa dipilih untuk kalimat tersebut")) .

Dan disebutkan dalam Tafsir al-Kabir karya Al-Razi: ((Pilihan al-Farra' adalah bahwa rafa’ lebih utama dibandingkan nashab. Sebab alif-lam pada kata

 ﴿وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ﴾ 

menggantikan kata "الَّذِي" (yang), sehingga kalimatnya menjadi bermakna: "Yang mencuri, potonglah tangannya". 

Berdasarkan pengertian ini, penggunaan huruf fa' pada khabar menjadi bagus sekali, karena ia seolah-olah menjadi jawaban dari suatu syarat. Adapun nashab, ia lebih tepat jika maksudnya adalah pencuri laki atau perempuan tertentu. Sedangkan jika yang dimaksud adalah menerapkan hukuman ini pada setiap orang yang melakukan perbuatan mencuri, maka rafa’ lebih utama. Pendapat ini juga dipilih oleh al-Zajjaj dan inilah pendapat yang dijadikan rujukan)) .

Untuk mejelaskan hal ini, isim yang marfu' di sini menyerupai isim syarat dalam sifat keumuman, ini dibuktikan dengan adanya huruf fa' pada khabar. Menurut sebagian ahli nahwu, apa yang datang setelah fa' tidak berperan sebagai 'amil (yang mengubah posisi nahwu suatu kata) pada yang sebelumnya, dan tidak dijelaskan sebagai 'amil dalam kasus isytighal .

Namun, menurut sebagian lainnya, jawaban dari syarat tidak berperan sebagai 'amil pada syarat . Jadi, jika yang anda ingin adalah penunjukan tertentu, maka kata tersebut dibuat dalam bentuk manshub. Misalnya, "السَّارِقَ" (pencuri) dalam bentuk manshub menunjukkan pencuri yang diketahui, yang seseorang yang telah mencuri. Sedangkan bentuk Rafa’ menunjukkan kemiripannya dengan syarat, sehingga berlaku untuk setiap pencuri.

Berdasarkan hal ini, mestinya Anda mengatakan: "الضَّيْفَ أَكْرِمْهُ" (seorang tamu, muliakanlah dia) dengan nashab jika tamu yang dimaksud adalah tamu tertentu. Sedangkan "الضَّيْفُ أَكْرِمْهُ" dengan Rafa’ jika tamu yang dimaksud tidak tertentu, yakni bukan tamu yang spesifik. Begitu pula, Anda mengatakan: "العَالِمَ احْتَرِمْهُ" (seorang alim, hormatilah ia) dengan nashab jika yang dimaksud adalah seorang alim tertentu dari kalangan ulama. Sedangkan "العَالِمُ احْتَرِمْهُ" dengan Rafa’ jika yang dimaksud bukan seorang alim tertentu, melainkan setiap orang yang memiliki ilmu.

Namun, menurut pendapatku, hal ini perlu dipertimbangkan lagi. Sebab, anda bisa saja menggunakan Rafa’ maupun nashab baik untuk yang diketahui maupun yang tidak diketahui. 

Misalnya, Anda mengatakan "أَكْرِمِ الضَّيْفَ" (muliakanlah tamu), baik tamunya adalah tamu tertentu maupun bukan tamu tertentu. Mungkin ucapan itu digunakan untuk tujuan pendidikan dan pengajaran, seperti dalam kalimat: "اِحْتَرِمِ الْعَالِمَ" (Hormatilah seorang alim). Hal ini sesuai dengan takdir isytighal menurut para ahli nahwu: " أَكْرِمِ الضَّيْفَ أَكْرِمْهُ " (Hormatilah tamu, hormatilah dia) dan "اِحْتَرِمِ الْعَالِمَ احْتَرِمْهُ" (Hormatilah alim, hormatilah dia).

Namun, sebagaimana telah dijelaskan dalam kaidah umum tentang perbedaan antara isytighal dan ibtida`, jika Anda ingin mengabarkan tentang isim yang disebutkan terlebih dahulu dan isnad ilayh (penisbatan kata kerja ke subjek), maka kata tersebut dirafa’kan. Namun, jika Anda tidak bermaksud demikian, maka kata tersebut dinashabkan dan diletakkan di awal untuk menunjukkan perhatian khusus.

Adapun kedua ayat yang disebutkan, kasusnya adalah seperti yang telah saya jelaskan, yakni mengabarkan tentang dua isim yang berbentuk marfu’. -wallahu a’lam’-.

Adapun pengkhususan sifat umum, ini disebabkan adanya huruf fa` dalam khabar, karena fa` tersebut menyerupai fa` dalam jawab syarat. Dan jawaban dari syarat dimaksudkan untuk menyampaikan makna umum. Hal ini serupa dengan perkataanmu: "الفَائِزُ فَأَعْطِهِ جَائِزَةً" (Pemenang itu, maka berikanlah dia hadiah), yang bermakna: "Siapa saja yang menang, maka berikanlah dia hadiah". Sementara, kalimat "الفَائِزُ أَعْطِهِ جَائِزَةً" (Pemenang, berikanlah dia hadiah) memiliki dua makna:bisa bermakna serupa dengan kalimat pertama, atau kita menginginkan pemenang tertentu, dan huruf fa` disini menunjukkan maksud yang umum.

Hal serupa berlaku jika Anda mengatakan:

"الَّذِي يَدْخُلُ الدَّارَ فَلَهُ مُكَافَأَةٌ" (Orang yang memasuki rumah, maka dia mendapatkan hadiah).
" الَّذِي يَدْخُلُ الدَّارَ لَهُ مُكَافَأَةٌ " (Orang yang memasuki rumah, dia mendapatkan hadiah).

Dengan adanya fa’, hadiah diberikan sebagai dampak dari memasuki rumah, yakni: "Siapa saja yang memasuki rumah, maka dia mendapatkan hadiah." Di sini, sebab pemberian hadiah adalah masuknya ke dalam rumah, sehingga kalimat tersebut menyerupai syarat dan maksudnya adalah umum.

Namun, tanpa fa’, kalimat tersebut memiliki dua kemungkinan: bisa bermakna serupa dengan kalimat pertama, bisa tidak berdampak diberinya hadiah dengan masuknya ke dalam rumah. Dalam kasus ini, hadiah diberikan kepada seseorang tertentu yang memasuki rumah. Seolah-olah Anda mengatakan:

 "Lihatlah orang yang memasuki rumah, sesungguhnya dia memiliki hadiah." Dalam hal ini, hadiah tidak diberikan karena masuknya ke dalam rumah, melainkan anda ingin memperkenalkan orang tersebut kepada lawan bicara melalui kata sambung. Sebagaimana Anda mengatakan: "الَّذِي يَمْشِي رَسَبَ" (Orang yang berjalan, dia gagal ujian). Dalam kalimat ini, kegagalan tidak terdampak dengan berjalan ataupun menjadi penyebabnya. Yang menunjukkan maksud umum adalah huruf fa`, bukan Rafa’. Seandainya makna umum hanya terkait dengan Rafa’ dan makna khusus hanya terkait dengan nashab, maka yang lebih utama dalam firman Allah -ta’ala-:

 ﴿وَالْأَنْعَامَ خَلَقَهَا﴾ 

(Dan hewan ternak telah Dia ciptakan) adalah rafa’, karena hewan ternak di sini bersifat umum, bukan khusus. Demikian pula firman Allah -ta’ala-:

 ﴿وَكُلَّ شَيْءٍ فَضَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا﴾ 

(Dan segala sesuatu telah Kami jelaskan secara rinci) [Al-Isra’: 12]. 

Demikian pula firman Allah -ta’ala-:

 ﴿وَكُلَّ إِنسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ﴾ 

(Dan setiap manusia telah Kami tetapkan amalnya di lehernya) [Al-Isra’: 13]. Demikian pula firman Allah -ta’ala-:

 ﴿وَالظَّالِمِينَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا﴾ 

(Dan orang-orang zalim telah Kami siapkan untuk mereka azab yang pedih) [Al-Insan: 31]. 

Demikian pula firman Allah -ta’ala-:

 ﴿وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا﴾ 

(Dan gunung-gunung telah Dia tegakkan) [An-Nazi’at: 32]. 

Semua ayat tersebut menggunakan nashab, meskipun sifatnya umum.

Mestinya, dalam firman Allah -ta’ala-:

 ﴿النَّارُ وَعَدَهَا اللَّهُ الَّذِينَ كَفَرُوا﴾ 

(Neraka itu telah Allah janjikan bagi orang-orang kafir) [Al-Hajj: 72], dan juga firman-Nya: ﴿جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا﴾ (Surga 'Adn yang mereka masuki) [Ar-Ra’d: 23], kedua ayat tersebut menggunakan Rafa’, karena kedua objeknya diketahui. 

Namun, hal ini sebagaimana telah saya jelaskan, -wallahu a’lam-.