Kekayaan Ilmu Nahwu
Ilmu nahwu merupakan salah satu cabang ilmu yang ada di islam, yang mana ilmu nahwu ini memiliki kaitan yang erat dengan tata bahasa dan gramatika.
Kekayaan yang ada pada ilmu nahwu sangatlah luas dan kompleks, dengan mempelajarinya, dapat membantu seseorang memahami bahasa Arab dengan benar dan mendalam. Lantas, apa saja kekayaan yang ada pada ilmu nahwu? Berikut ini adalah kekayaan yang ada pada ilmu nahwu, mari kita jelajahi:
1. Berubahnya harakat, berubahnya makna yang tersirat.
Di dalam surah al-fatihah, ayat pertama [menurut sebagian ulama’] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
الحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ
Kita perhatikan, bahwa disini Allah mendhammahkan akhiran dari lafazh الحَمْدُ. Mungkin, kita bertanya-tanya, mengapa Allah tidak menjadikan akhiran lafazh tersebut berupa fathah? Seperti: الحَمْدَ.
Sebenarnya, ada dua qiro’ah/bacaan untuk lafazh الحمد, bisa kita dhammahkan akhirannya seperti yang biasa kita baca, dan bisa kita fathahkan akhirannya sehingga menjadi:
الحَمْدَ لِلّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ
Namun, apa sebabnya? Mengapa bisa akhirannya berubah-ubah? Dan manakah yang lebih fasih?
Jika kita dhammahkan akhirannya, maka dapat dipastikan bahwa kalimat الحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ adalah kalimat ismiyyah/jumlah ismiyyah, yaitu suatu kalimat yang dimulai oleh isim, contohnya:
زَيْدٌ قَائِمٌ
Yang mana jumlah/kalimat ini dikatakan sebagai jumlah ismiyyah, mengapa? Karena kalimat ini diawali dengan isim/kata benda, yaitu زَيْدٌ.
Maka, begitu juga dengan kalimat/jumlah: الحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ, yang mana jumlah/kalimat ini diawali dengan isim/kata benda, yaitu lafazh: الحَمْدَ yang artinya pujian, sehingga dinamakan kalimat/jumlah ini dengan jumlah ismiyyah.
Sedangkan jika kita melafazhkan/membaca dengan fathah di akhirannya, maka lafazh الحَمْدَ sebagai maf’ul bih dari fi’il/kata kerja yang tersembunyi yaitu:
نَحْمَدُ أَوْ أَحْمَدُ أَوْ احْمَدُوْا
“Kami memuji atau aku memuji atau pujilah.”
Dan ini dinamakan dengan jumlah fi’liyyah/kalimat yang diawali dengan kata kerja.
Nah, ulama’ nahwu berpendapat bahwa jumlah ismiyyah lebih kuat daripada jumlah fi’liyyah, karena pada makna jumlah ismiyyah terdapat makna yang lebih kekal/lama, dibandingkan jumlah fi’liyyah yang hanya dipakai sementara waktu saja. Disebutkan didalam kitab الكَشَّافُ:
وَ العَدْلُ بِهَا عَنِ النَّصْبِ إِلَى الرَّفْعِ عَلَى الاِبْتِدَاءِ، لِلدَّلَالَةِ عَلَى ثَبَاتِ المَعْنَى وَاسْتِقْرَارِهِ
“Tidak dipakainya fathah pada akhiran lafazh الحمد namun dipakainya dhammah karena dia sebagai mubtada’, untuk menunjukkan tetapnya makna.” Yakni, dalam artian bahwa pujian itu selama-lamanya hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala.
Disebutkan juga dikitab البَحْرُ المُحِيْطُ:
وَقِرَاءَةُ الرَّفْعِ أَمْكَنُ فِي المَعْنَى، وَلِهَذَا أَجْمَعَ عَلَيْهَا السَّبْعَةُ، لِأَنَّهَا تَدُلُّ عَلَى ثُبُوْتِ الحَمْدِ وَاسْتِقْرَارِهِ لِلهِ تَعَالَى، فَيَكُوْنُ قَدْ أَخْبَرَ بِأَنَّ الحَمْدَ مُسْتَقِرٌّ لِلهِ تَعَالَى…. وَمَنْ نَصَبَ فَلَا بُدَّ مِنْ عَامِلٍ تَقْدِيْرُهُ: أَحْمَدُ اللهَ أَوْ حَمِدْتُ اللهَ فَيَتَخَصَّصُ الحَمْدُ بِتَخْصِيْصِ فَاعِلِهِ وَأَشْعَرَ بِالتَّجَدُّدِ وَالحُدُوْثِ
“Dibacanya lafazh الحمد dengan rafa’/didhammahkan akhirannya itu lebih kuat pada maknanya, oleh karena inilah para ahli qiroah sab’ah bersepekat membacanya dengan rafa’/didhammahkan akhirannya, karena dibaca bacaan tersebut dengan rafa’ itu menunjukkan tetapnya/senantiasa ada pujian untuk Allah ta’ala, sehingga Allah memberikan informasi kepada kita bahwa pujian itu senantiasa ada untuk Allah ta’ala. Adapun barangsiapa yang menashabkan/memfathahkan akhiran lafazh tersebut, maka tentu ada a’mil/sesuatu yang mengubahnya, taqdirnya adalah aku sedang memuji Allah atau aku telah memuji Allah. Sehingga pujian tersebut menjadi khusus dengan pengkhususan dari fa’ilnya [yaitu pujian yang kita berikan kepada Allah hanyalah sementara dan khusus hanya pujian dari kita, tidak termasuk yang lain] dan menyebabkan adanya tajaddud [pembaharuan] dan kejadian.”
Ini menunjukkan kekayaan ilmu nahwu, bahwa Ketika kita membaca lafazh الحمد dengan didhammahkan akhirannya, maka dia menunjukkan sesuatu yang tetap/senantiasa ada. Adapun, jika kita fathahkan akhirannya, maka menunjukkan bahwa pujian tersebut hanyalah sementara. Betapa kayanya ilmu nahwu!
2. Satu ayah tapi berbeda tujuan.
Apa maksud dari satu ayah tetapi berbeda tujuan? Yaitu ada suatu pembahasan tetapi pembahasan tersebut memiliki tujuan-tujuan yang berbeda.
Seperti pembahasan tentang isim nakiroh., apa itu isim nakiroh? Yaitu suatu isim yang bertanwin dan memiliki makna yang umum, seperti kita mengatakan:
جَاءَ رَجُلٌ
“Datang seorang laki-laki.”
Kita lihat lafazh رَجُلٌ bertanwin, dan tidak ada alif lam sebelumnya. Sehingga kita katakan bahwa yang datang adalah laki-laki yang masih belum kita ketahui, dalam artian masih umum. Berbeda dengan suatu kata benda yang kita jadikan ma’rifah/sudah diketahui dengan meletakkan alif lam sebelumnya, seperti:
جَاءَ الرَّجُلُ
“Datang seorang laki-laki.”
Yang mana maknanya adalah datang seorang laki-laki yang kita sudah mengetahui siapa lelaki tersebut, karena kita memberikan kepada isim/kata benda tersebut alif lam sebelumnya yang fungsinya untuk mema’rifahkan/menjadikan isim tersebut sudah diketahui. Ini sekilas pengenalan isim nakiroh dan ma’rifah.
Namun, apakah kita mengetahui bahwa isim nakiroh memiliki banyak makna? Isim nakiroh bukan hanya memiliki satu makna, tetapi dia memiliki banyak makna. Diantara makna isim nakiroh sebagaimana yang disebutkan oleh duktur Fadhil as-Samara’I رحمه الله:
1. Bermakna satu.
Isim yang apabila dia berupa nakiroh, maka isim tersebut bisa memiliki makna “satu” pada bilangannya. Misalkan apabila kita mengatakan:
جَاءَ رَجُلٌ
“Datang seorang laki-laki.”
Berarti yang datang hanya satu laki-laki, bukan dua ataupun lebih dari itu. Ini adalah salah satu makna nakiroh, yaitu menunjukkan bendanya hanya satu, tidak lebih.
2. Bermakna untuk seluruh jenis.
Apabila suatu isim berupa nakiroh, maka isim tersebut bisa saja memiliki makna seluruh jenis. Kita ambil contoh pada firman Allah:
لَا رَيْبَ فِيْهِ
“Tidak ada keraguan didalam al-qur’an.”
Kita lihat di ayat tersebut, terdapat lafazh ريب yang mana dia nakiroh, tidak ada alif lam sebelumnya. Namun, dia bermakna seluruh jenis, dalam artian tidak ada seluruh jenis keraguan didalam al-qur’an.
3. Bermakna banyak.
Isim yang menjadi nakiroh, maka salah satu maknanya adalah banyak. Hal ini sebagaimana yang dicantumkan didalam al-qur’an pada firman Allah yang berbunyi:
وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُوْنٍ
“Dan sesungguhnya engkau wahai Muhammad memiliki pahala yang tidak terputus.”
Jika kita membaca dan melihat ayat tersebut, maka kita mendapatkan lafazh أَجْرًا yang mana dia nakiroh tidak ma’rifah dan makna nakiroh padanya bukanlah makna satu atau makna seluruh jenis, tetapi maknanya adalah banyak. Dalam artian, bahwa Rasulullah mendapatkan pahala yang banyak lagi tidak terputus.
Sebagai penutupan, penulis ingin menyampaikan beberapa ungkapan dari beberapa ulama’ tentang luasnya ilmu nahwu. Al-imam ibnu Qutaibah رَحِمَهُ اللهُ mengatakan tentang luasnya ilmu nahwu dengan mengumpamakannya sebagai kunci segala ilmu:
إِنَّ عِلْمَ النَّحْوِ مِفْتَاحُ البَلَاغَةِ، وَأَسَاسُ التَّفْسِيْرِ، وَإِنَّمَا جَعَلَ العَرَبُ النَّحْوَ مِفْتَاحًا لِلْعُلُوْمِ كَمَا جَعَلُوْا الفَاتِحَةَ مِفْتَاحًا لِلْقُرْآنِ
“Sesungguhnya ilmu nahwu merupakan kunci ilmu balaghah, dan pondasi ilmu tafsir, dan orang Arab mereka hanya menjadikan ilmu nahwu sebagai kunci segala ilmu, sebagaimana mereka menjadikan surah al-fatihah sebagai kunci [pembuka] al-qur’an.”
Kita mengetahui bahwa surah al-fatihah merupakan ummul qur’an [induk al-qur’an], yang mana dia sebagai pembuka seluruh surah dan memiliki makna dan kandungan yang tidak ada habis-habisnya. Maka seperti itu juga dengan ilmu nahwu, dia sebagai pembuka seluruh ilmu, sehingga bagi siapa saja yang ingin mempelajari dan memperdalam ilmu tafsir, fiqh, Tarikh, aqidah, dan lain-lain, maka hendaklah dia mempelajari ilmu nahwu. Begitu juga ilmu nahwu sangatlah luas, tidak ada habis-habisnya apabila kita mempelajarinya. Senada juga dengan imam ibnu Qutaibah apa yang dikatakan oleh al-imam al-Jauhari رحمه الله:
النَّحْوُ مِفْتَاحُ العُلُوْمِ، وَهُوَ أَوَّلُ مَا يُتَعَلَّمُ، وَأَصْلُهَا
“Ilmu nahwu merupakan kunci dari segala ilmu, dan ilmu nahwu adalah yang dipelajari pertama kali, dan dia merupakan asas dari segala ilmu.”
Bahkan berdasarkan pengakuan al-imam az-Zamakhsyari رحمه الله bahwa orang Arab sendiri masih membutuhkan pembelajaran ilmu nahwu dikarenakan saking kayanya ilmu nahwu tersebut, dia mengatakan:
النَّحْوُ هُوَ العِلْمُ الَّذِيْ يُبَيِّنُ الصَّرْفَ وَالإِعْرَابَ، وَهُوَ أَسَاسُ البَلَاغَةِ وَالشِّعْرِ، وَهُوَ العِلْمُ الَّذِيْ لَا يَسْتَغْنِيْ عَنْهُ العَرَبُ
“Nahwu adalah ilmu yang menjelaskan ilmu Sharaf dan I’rab, dan dia merupakan asas/pondasi ilmu balaghah dan syair, dan dia [juga] ilmu yang selalu dibutuhkan oleh orang Arab.”